Menyebut Sidoarjo, ingatan sampean (Anda) mungkin langsung terngiang dengan lumpur lapindo. Namun, Sidoarjo tak hanya terkenal dengan lumpur lapindo. Kota tetangga Surabaya ini juga memiliki kuliner terkenal bernama kue lumpur.
Kenapa dinamakan kue lumpur? Kalau sampean melihat penampakan kuenya, sepintas memang terlihat seperti lumpur yang berwarna rada gelap kecokelatan. Teksturnya juga seperti lumpur yang gembur. Tidak keras/padat, juga tidak cair. Bagaimana rasanya? Rasanya berbeda dari kebanyakan jajanan lainnya.
Dari sisi 'usia', kue lumpur ini 'lebih tua' dibandingkan dengan lumpur lapindo. Seingat saya, ketika saya bocah, sudah ada kue lumpur. Sementara lumpur lapindo muncul pertengahan 2000-an. Bedanya, bila dulu kue lumpur hanya punya rasa original, kini varian rasanya banyak.
Salah satu yang banyak diburu adalah rasa kelapa muda (degan). Untuk memasaknya, bukan dicampur dengan adonan yang terdiri dari tepung terigu, gula dan telur, tetapi degan dimasukkan terlebih dahulu ke cetakan. Soal rasa, tak hanya manis tetapi juga gurih karena tambahan kelapa. Ada juga rasa nangka, durian, green tea, coklat, keju, jahe, siwalan dan kopi.
Di Sidoarjo, ada cukup banyak tempat yang menjadi pusat kue lumpur. Selama bulan puasa Ramadan, beberapa pusat kue lumpur tersebut selalu penuh pembeli. Utamanya ketika jelang berbuka puasa. Karena memang, kue lumpur menjadi salah satu favorit menu takjil warga Sidoarjo.
Saya merasakan langsung betapa kue lumpur memang diburu warga. Minggu (Sore tadi, saya datang ke salah satu pusat kue lumpur di kawasan Jalan Dr Wahidin Sekardangan, Sidoarjo. Saya datang sekitar pukul 4 sore. Berangkat dari rumah sekitar pukul 15.40 WIB.
Niat awalnya, saya ingin melakukan reportase vlog alias bercerita lewat tampilan video tentang kue lumpur Sidoarjo. Dari mulai proses masaknya yang masih konvensional dengan menggunakan arang. Dari cetakan yang dipanaskan terlebih dahulu di atas kompor gas, lalu diberi margarin sebelum dituang adonan. Menariknya, ada tungku besi berisi arang yang nantinya diletakkan di atas adonan. Cara inilah yang membuat bagian luar lumpur matang merata.
Namun, apa mau dikata, ketika sampai di lokasi, saya langsung mendapatkan pemberitahuan dari mbak yang menjaga toko. "Kue lumpurnya sudah habis, pak," ujar si mbak tersebut.
Sempat mengobrol singkat, si mbak tersebut lantas bertanya saya butuh berapa. Kalau butuhnya tidak banyak, sekitar 10 biji, masih ada. Saya pun mengiyakan untuk membelinya. Plus, mewawancara si mbak tersebut sebagai pengganti kekecewaan tidak bisa merekam proses masak kue lumpur sedari awal.
Selesai membuat video singkat yang bisa sampean (Anda) lihat di bagian akhir tulisan ini---yang tampilanya masih jauh dari kata bagus karena memang masih belajar--saya lantas menerima kue lumpur yang sudah dipacking rapi.
Ketika hendak beranjak pulang, ternyata ada beberapa orang yang juga berniat membeli kue lumpur tetapi kecele karena sudah habis. Ada seorang bapak yang datang membawa mobil, juga pasangan suami istri yang berboncengan motor dengan anaknya. Mereka hanya bisa pasrah ketika 'buruan' mereka sudah habis.