Apakah sampean (Anda) termasuk dalam barisan orang yang menduga bahwa pasca tanggal 17 April 2019, semua "kehidupan" akan kembali seperti semula. Bahwa suasana akan kembali adem ayem. Tidak ada lagi gegeran dan saling hujat di dunia nyata--terlebih di alam maya--antara dua pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ternyata, dugaan kita keliru.
Faktanya, sudah hampir dua minggu berlalu sejak Pemilu Presiden dan Legislatif diselenggarakan pada 17 April lalu. Namun, 'bumbu ceritanya' belum kunjung usai meski April sudah akan berganti Mei.
Dari yang saya baca di beberapa media daring maupun informasi di media sosial, (sepekan lalu) di beberapa tempat--termasuk di kota tetangga tempat tinggal saya--ada puluhan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang direkom oleh Bawasalu untuk dilakukan penghitungan ulang. Konon, ada pula dugaan penggelembungan suara (untuk pemilihan legislatif di tingkat kota) sehingga diprotes oleh beberapa partai politik dan seorang caleg. Belum lagi kabar meninggalnya petugas Pemilu yang jumlahnya sampai ratusan.
Namun, yang bikin miris, gegeran antara dua pendukung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, ternyata terus berlanjut hingga kini. Bak serial sinetron yang episodenya terus diolor-olor. Nyatanya, ada beberapa kawan di laman media sosial yang hingga kini masih saja doyan saling sindir dan "perang komentar". Mudah menemukan pendukung paslon 1 dan 2 yang masih gegeran di laman komentar berita di media sosial. Â
Ya, setelah tanggal 17 April 2019, ternyata persoalan belum selesai. Bila dulu gegerannya menjelekkan paslon yang tidak mereka dukung, kini para pendukung--dari level atas hingga level kampung--tetap saling memancing konflik.
Yang merasa menang, seolah memancing kemarahan pihak yang dianggap kalah.  Sementara yang kalah gemar menyalahkan pihak yang merasa sudah menang. Ah, jika terus begini keadaannya, sampai lima tahun mendatang, urusan gegeran ini  tidak akan pernah selesai.
Kata rekonsiliasi dari level elit politik hingga kalangan akar rumput, nyatanya bak sebuah lamunan yang entah kapan jadi nyata. Lha wong mereka lebih senang menciptakan sekat daripada rekonsiliasi.
Saya, sejak beberapa bulan sebelum 17 April, memilih jadi penonton saja. Meski tentunya saya sudah menetapkan pilihan. Saya lebih suka sekadar mengikuti perkembangan informasi terkini tanpa harus tergoda menyebar berita/info yang tentu saja akan ada keberpihakan alias framming-an dari pilihan saya.
Saya lebih suka meniru filosofi sepak bola. Ya, sebuah kebetulan, momen coblosan pada Rabu dua pekan lalu, berbarengan hari dengan pertandingan leg II perempat final Liga Champions. Dan sebuah kebetulan, dua laga perempat final antara FC Porto menghadapi Liverpool dan Manchester City melawan Tottenham Hotspur, keduanya diwarnai kontroversi.
Di laga Porto melawan Liverpool, ada gol (gol pertama Liverpool oleh Sadio Mane) yang sah atau tidak nya harus ditentukan lewat VAR (Video Assistance Referee). Malah, di laga City melawan Spurs, pelatih pan pemain-pemain City yang sudah jingkrak-jingkrak kegirangan di menit akhir, mendadak tersedu setelah gol Raheem Sterling di akhir laga, dinyatakan offside oleh wasit.
Toh, seusai laga, mereka mudah sekali melakukan rekonsiliasi. Mudah sekali mereka berpelukan, berjabat tangan bahkan bertukar jersey. Seolah semua 'gegeran' selama 90 menit plus beberapa menit, sudah terlupakan.