Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Agar Anak Tak Melulu Bersukaria dengan Gawai

7 April 2019   23:10 Diperbarui: 7 April 2019   23:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak bersukaria dengan gawai/Foto: Republika.co.id

Melarang anak-anak untuk tidak melulu beraktivitas (baca bermain) dengan gawai karena bisa berkacamata sejak usia dini, bukanlah pekerjaan mudah. Itu seperti menasehati--atau mungkin lebih tepatnya menakuti---para pecandu rokok dengan gambar seram di bungkus rokok agar mereka berhenti merokok.

Yang terjadi, meski sudah tahu dan bisa membayangkan bila terus-menerus merokok, mereka bisa saja berisiko terjangkit penyakit mengerikan seperti 'model' yang ada di bungkus rokok, toh mereka tetap saja terus merokok. Seolah tidak ada takutnya.

Bahkan, ada guyonan seorang kawan yang mengisahkan seorang perokok mengikuti seminar tentang bahaya merokok. Yang terjadi akhirnya malah cerita lucu. "Eh, tadi gua ikut seminar tentang bahaya merokok. Beberapa menit kemudian, Alhamdulillah gua berhenti...ikut seminar!".

Lalu, apa hubungannya dengan risiko anak berkacamatan sejak dini bila terus-menerus beraktivitas dengan gawai?
 
Sekira dua bulan lalu, keponakan saya yang setiap malam (kecuali akhir pekan) belajar di rumah, mendadak datang dengan mengenakan kacamata barunya. Setelah saya tanyakan mengapa kini berkacamata, bocah kelas 1 SMP ini menjelaskan bila matanya sudah minus di atas dua. Katanya sering pusing. Makanya ketika memeriksakan diri ke dokter mata, dia disarankan memakai kaca mata.

Dia mengaku sejak lama memang rutin beraktivitas dengan gawai. Dari bangun tidur, pulang sekolah, sebelum tidur atau bahkan ketika terbangun dini hari, gawai tidak lepas dari genggamannya. Andai ke sekolah diperbolehkan membawa gawai, mungkin juga akan dibawanya.

Apalagi sejak di seberang jalan rumahnya berdiri warung kopi besar yang menyediakan layanan wi-fi gratis sepanjang malam, itu dianggapnya "hadiah besar' ketika paketan internet di gawainya habis. Jadilah dia bersama teman-temannya 'ngopi' tapi tidak memesan kopi. Sekadar minum teh hangat. Yang penting bisa mendapatkan gawai gratisan.

Saya cukup senang dengan penjelasan keponakan saya tentang asal-usul mengapa dirinya berkacamata. Sebab, dua anak saya ikut mendengarkannya. Itu semacam testimoni spesial. Harapan saya, dua anak saya yang juga senang berlama-lama dengan gawai tersebut jadi lebih berpikir tiga atau empat kali sebelum bermain dengan gawai ayahnya.
 
Sebenarnya, saya beberapa kali mengingatkan mereka perihal risiko berkacamata dini ini. Utamanya si sulung yang kini kelas 2 SD dan mulai keranjingan bermain gawai. Terlebih, ada dua tiga teman di kelasnya yang sudah berkacamata. "Kakak apa mau pakai kacamata gara-gara keseringan main HP. Gak enak dong kalau lomba lari ataupun main bola bila pakai kacamata," ujar saya. "Ya nggak mau Yah. Tapi nggak mau juga bila nggak main gawai," ujarnya.

Tetapi memang, tidak mudah untuk sekadar menasehati anak agar tidak bermain gawai sementara mereka masih mendapatkan akses berlama-lama dengan gawai. Bukankah ada banyak orang tua yang hanya karena alasan supaya anaknya yang bahkan masih balita agar tenang/tidak rewel, maka mereka dibiarkan memainkan gawai orang tuanya?

Karenanya, akses itulah yang saya batasi. Sekira mulai tahun lalu, saya dan istri membuat peraturan yang disepakati bersama. Bahwa anak-anak hanya boleh bermain gawai di akhir pekan ketika libur sekolah. Itu pun durasi jamnya dibatasi. Kakaknya main berapa lama dan adiknya berapa lama.

Bahkan, itupun masih ada syarat lainnya. Aktivitas mereka selama seminggu menjadi syaratnya. Semisal apakah mereka rajin belajar, rajin ikut sholat, tertib tidurnya, tidak bertengkar (meski ini paling susah karena dua-dua nya laki-laki). Bila syarat-syarat itu terpenuhi, barulah saya mengizinkan mereka untuk berakhir pekan dengan gawai.

Bila mereka merajuk, saya selalu katakan pada mereka, "karena ayah sayang kakak dan adik, makanya main HP nya nggak boleh lama-lama. Kalau ayah nggak sayang, ayah kasih main HP seharian. Tapi kalau matanya kakak sakit dan harus pakai kacatama gimana?".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun