Tidak hanya di ranah politik, akun media sosial yang memposting kabar sepak bola tim Eropa, itupun bisa menjadi pemicu konflik panas antar warganet. Ambil contoh 'perang komentar' antar pendukung Real Madrid dan Barcelona, suporter Liverpool dan Manchester United atau fans nya Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Hanya karena informasi yang terbilang begitu saja, warganet langsung terbelah, menjadi kelompok pendukung atau penyinyir.
Bahkan, kabar tentang atlet bulutangkis Indonesia saja masih ada yang berkomentar nyinyir bahkan cenderung merundung. Terlebih ketika pebulutangkis Indonesia tidak mampu tampil bagus di sebuah turnamen.
Nah, di tengah mudahnya warganet berkonflik dan beradu komentar di media sosial, kabar prostitusi itu seolah menjadi 'pemersatu' diantara mereka. Ketika sebuah akun media sosial, memposting berita tentang VA ini, tidak ada perang komentar. Yang ada malah celetukan-celetukan lucu ala warganet.
Seperti pada 5 Januari lalu, ketika kasus ini sedang ramai-ramainya, sebuah akun media sosial yang biasanya fokus mengabarkan kabar sepak bola dalam dan luar negeri, mendadak memposting berita dari sebuah media online terkenal berjudul "Tarif Prostitusi Online Artis VA Capai Rp 80 juta". Postingan itu dikomentari oleh hampir 300 warganet. Jauh lebih banyak dari postingan bola.
Lucunya, ketika ada warganet berkomentar "Ngapain lu ikutan min? Apa mau beralih jadi akun lambe-lambe". Komentar tersebut lantas dijawab dengan jawaban "hanya ginian yang bikin fans bola Indo bersatu". Warganet lainnya berujar "postingan pemersatu bangsa".
Lucunya lagi, ketika ada akun yang memposting nama-nama inisial artis yang diduga juga ikut tercebur dalam pusaran prostitusi online ini, itupun ditanggapi dengan kocak oleh beberapa warganet.Â
Semisal inisial VA, ada yang menyebutnya Victor Igbonefo (pesepak bola naturalisasi yang membela Persib Bandung), Vermansah Andik (balikan nama dari pemain Timnas) hingga warganet yang 'maksa' menyebut nama plesetan Vigit Aluyo (kalau nama yang ini berkaitan dengan kasus pengaturan skor di sepak bola yang masih ramai).Â
Pendek kata dari hampir 300-an komentar di akun tersebut, sama sekali tidak ada warganet yang berkomentar "nge-gas", nyinyir ataupun mengucap 'penghuni kebun binatang' seperti biasanya. Berita ini bak menjadi 'pemersatu' warganet yang biasanya senang berdebat tanpa tahu wajah yang diajak beradu argumen.
Namun, terlepas dari respons jenaka para warganet di jagad media sosial, kemunculan berita ini juga memunculkan ironi. Bahwa masih ada banyak masyarakat dan warganet yang kurang berimbang dalam merespons kasus seperti ini. Semisal identitas perempuan yang lebih banyak disorot dan bahkan terkesan ada pengeksploitasian identitas. Sementara laki-laki yang "menyewa jasa" seperti dianggap tidak menarik untuk diberitakan.
Meski, juga tidak lantas kemudian membalik porsi itu. Dalam ranah wajar, pemberitaan kasus prostitusi di media, seharusnya menjadi momentum kapok bagi mereka yang juga melakukan hal serupa. Mereka harusnya paham, perbuatan mereka tidak hanya bisa mendapatkan sanksi hukum tetapi juga sanksi moral masyarakat.
Bagamanapun, sanksi itu sebagai efek jera. Sebab, bila tanpa menonjolkan sanksi yang didapat pelaku, satu hal yang membuat miris dari praktek prostitusi online seperti ini adalah penularan. Utamanya mereka yang masih muda, bahkan remaja. Khawatirnya, mereka yang memang gila materi dan enggan bekerja keras tetapi mau mendapatkan uang besar dalam sekejap, malah menjadikan kabar ini sebagai 'pekerjaan' yang bisa ditiru.