Sudah bukan rahasia baru bila di bulutangkis, Indonesia tertinggal dari negara-negara lain di sektor tunggal putri. "Rahasia" tersebut masih berlanjut di tahun 2018 ini. Hanya di sektor tunggal putri, pebulutangkis-pebulutangkis Indonesia tidak mampu meraih gelar di turnamen BWF World Tour di sepanjang tahun ini.
Indonesia memang belum punya pemain tunggal putri yang bisa rutin masuk babak penting ataupun meraih gelar di turnamen-turnamen BWF. Sementara persaingan di sektor tunggal putri terbilang sangat ketat, bahkan lebih ketat dibandingkan dengan tunggal putra.
Nama-nama tunggal putri top dunia seperti Tai Tzu-ying (Taiwan), Carolina Marin (Spanyol), Akane Yamaguchi dan Nozomi Okuhara (Jepang), Pusarla Venkatta Sindhu dan Saina Nehwal (India), Ratchanok Intanon (Thailand), Chen Yufei dan He Bingjiao (Tiongkok), Sung Ji Hyun (Korea Selatan) harus diakui masih menjadi lawan yang sulit dikalahkan pemain-pemain Indonesia. Belum lagi 'pemain kejutan' seperti Michelle Li (Kanada) dan Beiwen Zhang (Amerika Serikat) ataupun Nitchaon Jindapol (Thailand).
Meski berat untuk mengatakan, tetapi kenyataannya, empat pemain Indonesia di sektor tunggal putri, yakni Gregoria Mariska Tunjung, Fitriani, Ruselli Hartawan dan Dinar Dyah Ayustine di tahun ini baru bisa bersaing di turnamen kelas International Challenge/Series ( di bawah BWF World Tour). Â Level turnamen tersebut tentunya mencerminkan siapa saja yang bermain. Pemain-pemain top dunia yang saya sebut di atas, tentunya tidak bermain di level International Challenge/Series.
Di level International Challenge, Gregoria bisa juara di Finnish Open 2018. Sementara Dinar juara di Vietnam International 2018. Tentu saja, sebuah prestasi, apapun namanya, tetap membanggakan. Kita harus mengapresiasi pencapaian tersebut.
Namun, ketika bicara panggung dunia dan tampil membela negara, kita tentunya berharap prestasi yang paling maksimal di level tertinggi. Sebab, juara di turnamen All England dibandingkan juara di turnamen lain, gaungnya tentu berbeda. Begitu juga pencapaian emas Olimpiade dibandingkan di SEA Games. Jelas beda.
Namun, terlepas dari keterbatasan yang masih dimiliki tunggal putri di panggung bulutangkis dunia, ada kabar bagus yang layak diharapkan. Kabar bagus itu adalah penampilan Gregoria Mariska. Meski belum mampu juara di BWF World Tour, tetapi Gregoria telah memperlihatkan progres bagus selama 2018. Dia memiliki kualitas dan juga semangat ala pemain "kelas dunia" yang ia pertontonkan kala menghadapi pemain-pemain top dunia.
Di tahun ini, Gregoria yang baru naik ke level senior setelah tahun 2017 lalu tampil sebagai juara BWF World Junior Championship alias Kejuaraan Dunia Junior, memberi harapan bahwa tunggal putra Indonesia punya masa depan cerah di masa mendatang.
Dia pernah menembus babak semifinal Denmark Open Super 750 meski sebelum akhirnya dikalahkan pemain senior India, Saina Nehwal. Kita juga masih ingat ketika di nomor beregu Asian Games, Gregoria menang atas Sung Ji-hyun di perempat final yang berperan besar membawa Indonesia ke semifinal usai menang 3-1 atas Korsel. Lalu di semifinal, dia bisa mengalahkan Akane Yamaguchi di laga pertama meski Indonesia akhirnya kalah 1-3 dari Jepang.
Hasil-hasil itu sejatinya menjadi bukti, Gregoria punya kualitas untuk bisa menantang para pemain top dunia. Bila begitu, kita boleh berharap, di tahun 2019, tunggal putri Indonesia bisa berbicara lebih banyak. Bukan sekadar merepotkan pemain top dunia semisal memaksa mereka bermain rubber game, tetapi bisa mengalahkan mereka.
Tentunya tidak hanya Gregoria. Tetapi juga Fitriani, Ruselli dan Dinar (bila tetap dipercaya masuk Pelatnas), bisa meningkatkan performa mereka di lapangan. Meningkat tidak hanya kualitas, tetapi juag semangat juangnya. Mengutip ucapan Susy Susanti yang seringkali muncul di media, "terpenting semangat juangnya di lapangan". Apalagi, usia mereka masih muda dan masih bisa berkembang. Gregoria baru 19 tahun, Fitriani 20 tahun, Ruselli kini baru 21 tahun. Hanya Dinar yang terbilang 'senior', kini 25 tahun.