Dan, apesnya, ketika BOLA mampir ke meja saya, baru saja saya memegangnya dan belum sempat membaca, pak guru menoleh ke kami. Beliau akhirnya berhasil menuntaskan soal super sulit itu. Dan, pandangannya langsung tertuju kepada saya yang tengah memegang BOLA.
Sedetik kemudian, sambil membenarkan posisi kacamatanya, dia menyuruh saya keluar kelas. "Waktunya pelajaran kok malah baca koran di dalam kelas, keluar sana," begitu kira-kira perintah pak guru matematika saya.
Bagi saya, seorang murid yang waktu itu tidak neko-neko dan termasuk 'anak manis'--yang jangankan bolos sekolah, keluar kelas pas jam kosong pelajaran saja tidak pernah--pengusiran itu sungguh bak tamparan keras. Dan juga membuat saya bingung.
Ya, saya bingung harus ke mana ketika jam pelajaran malah disuruh keluar kelas (apalagi Tabloid BOLA nya tidak boleh dibawa sehingga tidak ada 'teman' untuk mengisi waktu). Mau ke kantin sekolah yang harus melintasi lapangan sekolah, malah malu karena tidak mau dikira kabur dari pelajaran di kelas. Akhirnya, saya pun "bersembunyi" di kamar mandi.
Hingga, ketika pelajaran Matematika itu selesai, saya lantas menemui pak guru ketika dia baru beranjak meninggalkan kelas. Saya lantas meminta maaf. Permohonan maaf yang lantas dijawab singkat oleh beliau "besok jangan diulangilagi". Saya hanya bisa manggut-manggut sembari mengiyakan.
Dan, ketika kembali ke kelas, kawan-kawan pun bersorak. Lebih tepatnya mengolok-ngolok sembari tertawa. Kabar bagusnya, kawan yang membawa Tabloid BOLA itu lantas berujar "Hadi, BOLA e gawe awakmu aeh, gawe kenang-kenangan (BOLA nya buat kamu saja, untuk kenang-kenangan)," ujarnya sambil terkekeh-kekeh. Â
Dulu saya menyimpan BOLA kenangan itu di kamar. Saya menatanya hingga bertumpuk-tumpuk dengan edisi tabloid BOLA lainnya yang saya beli sendiri. Ketika akhir pekan, saya kerapkali membaca ulang beberapa edisi yang saya sukai. Namun, ketika saya sudah berkeluarga dan berpindah rumah, tumpukan BOLA itu bernasib seperti koran bekas lainnya. Meski, masih ada beberapa edisi kenangan yang saya simpan.
Kala itu, ulasan paling digemari adalah Serie A Liga Italia yang tengah seru-serunya seiring kedatangan Andriy Shevchenko ke AC Milan juga perseteruan Inter Milan dengan Ronaldo Luiz Nazario nya dan Juventus dengan Zinedine Zidane dan duet "Del-Pippo" alias Alessandro Del Piero dan Filippo Inzaghi. Baik laporan langsung Bung Rayana Djakasuria, maupun tulisan-tulisannya mas Arief Natakusumah, menarik dibaca.
Sementara untuk ulasan Liga Inggris, saya paling suka membaca reportase langsung mbak Dian Savitri ataupun tulisan preview nya Mas Darojatoen juga Bung Dedi Rinaldi.
Karena BOLA, saya tidak hanya cinta pada olahraga. Saya juga mulai cinta menulis. Seringkali menulis tentang catatan penting di sepak bola di buku yang tidak terpakai. Kecintaan itulah yang akhirnya 'membelokkan' cita-cita saya. Dari yang awalnya berniat menjadi ahli teknik kimia--karena anak IPA--lantas bermimpi menjadi wartawan olahraga.
BOLA telah mewarnai masa remaja saya. Pun ketika sudah bekerja menulis di pabrik koran. Karenanya, ada rasa sedih begitu tahu status wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy dan wartawan senior olahraga Hardimen Koto di akun media sosialnya pada 17 Oktober lalu yang mengabarkan tentang akan "tutup usia" nya Tabloid BOLA. Membacanya serasa haru. Ya, BOLA yang telah melintas generasi selama 34 tahun itu, berpamitan kepada pembacanya.