"Mengapa hal itu Anda lakukan?," tanya si wartawan itu yang lantas dijawab Tenzing: "Itu impian Edmund, bukan impian saya," ujarnya. Â Â Â
                                                               ****
Di sepak bola, sosok manusia rendah hati seperti Tenzing yang tidak mengharap publikasi atas apa yang dilakukannya, terwujud pada pemain berposisi gelandang bertahan. Peran dan pengaruh mereka sangat krusial dalam sebuah tim. Tetapi, tak banyak orang yang bisa melihat kontribusi penting itu.
Di sepak bola Eropa, ada teknologi yang bisa mengetahui seorang pemain berlari berapa kilometer dalam satu pertandingan. Dan gelandang  bertahanlah "juara" nya. Mereka berlari dengan jarak tempuh terjauh dari pemain lainnya. Ambil contoh Xabi Alonso, mantan gelandang bertahan Real Madrid ini rata-rata berlari 13 ribu meter atau 13 kilometer di satu pertandingan.Â
Mereka seperti ada di setiap jengkal lapangan. Mereka muncul di daerah lawan untuk membantu serangan tapi sekejap kemudian sudah berdiri gagah di area pertahanan sendiri. Â Tapi, tugas mereka itu justru seperti berada dalam kesunyian. Seperti tak terlihat. Hanya sedikit saja, orang yang bisa melihat besarnya peran mereka.
Tentang peran dan pengorbanan gelandang bertahan ini, pernah ditunjukkan pria bernama Roy Maurice Keane ketika timnya, Manchester United melawan Juventus di semifinal Liga Champions 1998/99.Â
Di Turin, Italia, pada 21 April 1999, laga baru berjalan 12 menit, United sudah tertinggal 0-2. Skor sementara itu jelas mimpi buruk bagi United yang berharap timnya menang atau draw dengan skor besar setelah hasil 1-1 di semifinal pertama di Manchester dua pekan sebelumnya.
Dalam situasi terdesak, Keane mendadak menggebrak. Dia maju ke garis lawan bak komandan perang yang nekad. Satu gol dia ciptakan untuk memperkecil skor 1-2. Keane dengan determinasi, dan jiwa kepemimpinan yang kuat, memimpin rekan-rekannya. Dia membuat pemain tengah Juventus seperti Didier Deschamps, Zinedine Zidane dan Edgar Davids, terkesima. Keane mendominasi mereka.Â
Apes, Keane yang terlalu bersemangat, justru diganjar kartu kuning setelah tak sengaja men-tackling Zidane. Kartu kuning itu berarti Keane tidak bisa main jika United lolos ke final. Padahal, agregat masih 3-2 untuk Juve. Toh, kartu kuning itu tak mampu memberangus semangatnya. Keane tetap tampil edan dan menginspirasi kemenangan United, 3-2. Dia menunjukkan komitmen dan etos kerja demi meloloskan timnya ke final meski tahu dirinya akan absen di final.
Dalam biografinya, Managing My Life, mantan pelatih legendaris United, Sir Alex Ferguson memuji penampilan heroik Keane itu. "Di menit ketika dia mendapat kartu dan out dari final, dia justru berusaha lebih keras memastikan timnya ke final. Itu penampilan paling tidak egois di sepak bola yang pernah saya lihat. Dia seperti lebih senang mati daripada kalah. Dia menginspirasi semuanya," ujarnya.
Keane mengaku yang terpenting timnya main di final. Itu lebih penting dibanding dirinya ada atau tidak di final. Meski, dalam autobiografi nya berjudul "As I See It" pada 2002, dia menyatakan merasa bersalah terkait kartu kuning di semifinal itu. Dia merasa telah membiarkan tim down secara mental karena dirinya tidak bisa main di final.Â