Menjadi penulis di sebuah majalah kedokteran di Surabaya, membuat saya sering bertemu dan mewawacara dokter-dokter dengan beragam latar belakang. Dan, meski berbeda-beda bidang spesialisasinya, ada kesamaan dari dokter-dokter yang sering saya wawancara. Kebanyakan, cara bicaranya cenderung ringkas, tidak bertele-tele dan substansi obrolannya lebih sering 'asyik di dunianya sendiri'.Â
Namun, ketika akhir pekan kemarin berbincang dengan dokter Iswiyanti Widyawati, MKes bersama beberapa kawan di Kompasiana, asumsi itu terpatahkan. Mewawancara dr Iswiyanti, saya seperti tidak sedang bertutur dengan seorang dokter. Bahasanya mudah dimengerti. Tutur katanya teratur. Plus sikapnya yang bersahabat dan apa adanya.
Sekira dua jam berbincang dengan dokter Iswi, saya bahkan seperti tidak sedang mengobrol. Namun, lebih seperti membaca lembar demi lembar buku tentang kisah seseorang. Buku yang menginspirasi. Jawaban-jawaban yang disampaikannya tidak sekadar berupa kalimat berderet. Lebih dari itu, ada banyak nilai-nilai hidup yang berseliweran dari ceritanya.
Salah satunya tentang makna bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Bagi ibu enam orang anak ini, pesan mulia itu tidak sekadar menjadi pengingat yang ditempel di dinding rumahnya. Jejak rekam hidupnya menjadi fakta, dia mampu menjadikan pesan mulia itu bak aktivitas bernafas yang dilakukannya setiap hari.
Belajar dari orang tua, luwes menjalani berbagai peran
Tanpa kenal lelah, dr Iswi mampu menjalani empat hingga lima peran sekaligus. Dari peran di rumah sebagai istri, ibu, nenek, hingga peran di luar sebagai Kepala Bagian Pelayanan dan Penunjang di sebuah rumah sakit ibu dan anak di Surabaya, aktivis sosial kemanusiaan, konselor parenting dan peran-peran lainnya. Hebatnya, semua peran itu bisa dijalaninya tanpa mengabaikan satu sama lain.
Faktanya, di tengah kesibukannya sebagai dokter dengan jabatan cukup bergengsi di sebuah rumah sakit ibu dan anak terkenal di Surabaya, dia mampu menjaga kedekatan dan romantisme keluarganya. Kehidupan keluarganya asyik. Dia sama sekali tidak berjarak dengan putri-putrinya. Pun, dengan suaminya yang seorang dokter spesialis anestesi, hubungan mereka masih mesra. Candaan dan obrolan santai acapkali spontan tercetus sebagai gambaran kedekatan mereka.
Sementara dari sang bapak, Muhammad Ishaq Masduki, dr Iswi mewarisi sikap bijaksana dan easy going. Seringkali selepas Shubuh, sang bapak menyampaikan wejangan tentang pentingnya untuk ikut memperbaiki masyarakat, serta perihal perlunya berikhtiar. Bahwa orang tua sekadar bisa mendoakan yang terbaik untuk sang anak, dan anaklah yang berikhtiar sendiri untuk membuka 'pintu langit'. "Satu pesan bapak yang paling saya ingat, "lek seneng ojo nemen-nemen, lek sedih ojok nemen-nemen" (bila gembira secukupnya, sedihpun sewajarnya. Jangan berlebihan)," ujar dr Iswi merujuk pesan agar hidup dijalani easy going, tidak lebay.Â
Aktif di bidang sosial kemanusiaan
Bila dalam novel Burlian, penulis yang karya-karyanya digandrungi anak muda, Tere Liye, menganalogikan masa depan dengan pengandaian yang manis: bak menanam sebuah pohon yang kelak bila pohon itu telah tinggi besar, maka anak-anak kita akan bisa melihat potret dunia dari ujung paling atas", orang tua dr Iswi telah berhasil menanam pohon besar yang memungkinkan anak-anaknya untuk melihat luasnya dunia. Dan, dengan mampu melihat luasnya dunia, muncul keinginan untuk menebar kemanfaatan kepada sesama.