Memiliki dua keluarga (keluarga sendiri dan keluarga istri) yang berjauhan ratusan kilometer membuat mudik menjadi agenda favorit di masa libur hari Raya Idul Fitri. Namun, demi bersikap adil terhadap dua keluarga kami, mudik ke Betawi ke keluarga istri saya, tidak kami lakukan setiap tahun.
Saya dan istri membuat jadwal "mudik dua tahun sekali". Maksudnya, bila pada Lebaran tahun lalu mudik ke Betawi, maka di Idul Fitri kali ini kami hanya "jaga gawang" di Sidoarjo, tempat kelahiran saya. Maksudnya jaga gawang, karena saya tinggal di kompleks perumahan yang penghuninya satu demi satu mudik jelang Lebaran, maka yang tidak mudik berarti bak penjaga gawang yang berdiam di gawangnya.
Nah, meski sudah berlalu satu tahun, mudik ke Betawi tahun lalu menyisakan kenangan tak terlupakan bagi saya dan keluarga. Ketika untuk kali pertama, kami mudik menggunakan moda kereta api. Menempuh jarak 832 kilometer dari Surabaya menuju Jakarta dengan moda angkutan yang kini semakin nyaman.
Namun, senyaman-nyamannya kereta api, bila mudik bersama dua bocah laki-laki berusia 6 tahun dan 4,5 tahun yang sedang aktif-aktifnya, urusannya jauh dari kata tenang. Bila mudik dua tahun lalu, mereka bisa duduk manis di kursi selama 1 jam 10 menit perjalanan karena ada fasilitas game di pesawat--meski beberapa kali beralasan jalan-jalan ke toilet--maka kali ini ceritanya sama sekali berbeda.
Sejak menjejakkan kaki di gerbong kereta pukul 19.40 WIB, saya lantas 'menyulap' empat kursi yang kami duduki--yang sebelumnya saya membelakangi--agar bisa berhadap-hadapan. Tujuannya, agar mereka bisa lebih nyaman dalam perjalanan. Saya dan istri juga sudah membawa bekal secukupnya: camilan, air mineral, bahkan makanan dan teh hangat untuk sahur.
Saya juga mewanti-wanti mereka: "Kak, dik, ini perjalanannya sangat lama. Baru nyampe Jakarta besok pagi. Kalian makan dan minum yang cukup terus istirahat ya. Besok pas bangun sudah nyampe rumah eyang uti".
Setelah seharian beresin kerjaan plus sibuk dengan urusan packing hingga memastikan angkutan online bisa tepat waktu dari rumah menuju stasiun, malamnya saya memang berharap bisa beristirahat nyaman di kereta. Bisa tidur cukup, lantas bangun makan sahur di kereta. Namun, harapan itu sekadar jadi lamunan.
Dua bocah yang super duper rame ini alih-alih mau tidur, "batere energi"Â mereka malah masih full. Padahal, bila di rumah, mereka sangat jarang tidur malam. Semalaman di kereta, ada saja ulah mereka berdua. Dari main-mainan tebak-tebakan, bercerita berdua, tertawa berdua, bernyanyi, hingga berdiri di atas kursi dan jalan-jalan di gerbong.
Imbauan agar mereka tidur, teguran hingga pelototan mata agar mereka tidak berisik karena ada banyak penumpang lain yang tengah beristirahat, tidak mempan. Bila sudah seperti itu, harapan bisa tidur nyenyak di kereta sembari menunggu waktu Sahur pun sirna.
Saya dan istri sekadar mencoba memejamkan mata, tetapi tak pernah benar-benar tertidur. Lebih tepatnya pura-pura tidur sesekali mengintip tingkah polah dua anak saya. Tiba di Semarang yang menandakan separoh perjalanan, mereka juga belum tidur. Hingga para petugas di kereta mulai menawarkan aneka menu makan sahur.
Ya, dua bocah itu akhirnya baru bisa tidur pulas ketika kereta sudah tiba di Cirebon sekitar pukul 03.30 an. Mungkin karena energi batere nya sudah drop. Saya dan istri pun baru bisa menikmati makan sahur.Â