Tinggal hitungan hari, Ramadan datang menyapa. Namun, suasana jelang datangnya Ramadan tahun ini serasa berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Terlebih bagi saya, warga Sidoarjo yang mencari nafkah di Surabaya.
Teror bom yang terjadi di Surabaya pada Minggu (15/5) pagi kemarin dan merembet ke Sidoarjo, telah mengubah wajah kota yang biasanya adem dan tenang, mendadak menjadi tegang. Terlebih dengan adanya update informasi yang terus berkelindan di media sosial dan menjadi gambaran suasana terkini. Terkutuklah para teroris yang telah merampas keceriaan banyak warga dalam menyambut datangnya Ramadan.
Beberapa rencana yang telah saya susun bersama istri sebagai persiapan menyambut Ramadan tahun ini, dengan terpaksa saya tunda. Diantaranya keinginan untuk mengajak anak-anak nonton bareng film yang lagi happening. Kebetulan mereka baru menyelesaikan 'ujian' di sekolahnya. Namun, adanya imbauan untuk tidak berada di pusat-pusat keramaian yang bersahutan di grup WhatsApp, membuat saya berpikir dua kali untuk mengaajak mereka.
Toh, teror keji itu tidak merusak seluruh persiapan saya dan keluarga menyambut Ramadan. Beberapa rencana yang memang saya susun jauh-jauh hari, masih bisa terlaksana. Rencana yang kami persiapkan agar Ramadan tahun ini bisa dijalani dengan lebih khusyu dan gembira bersama anak-anak.
Persiapan pertama menyambut Ramadan adalah membeli meja makan dan tentunya beserta kursi-kursinya. Akhirnya, sejak mendiami rumah sendiri setelah menikah hampir sewindu lalu, kami bisa memiliki meja makan keluarga. Mimpi sederhana yang akhirnya terwujud. Selama ini, kami memang lebih suka makan 'lesehan' ataupun duduk di kursi bersama anak-anak.
Hanya saja, dengan gerak agresif nya anak-anak--si sulung berusia hampir 7 tahun dan si bungsu berusia 5 tahun--urusan makan lambat laun menjadi lebih sulit karena mereka lebih memilih 'keluar lintasan' sebelum menuntaskan makan mereka.
Sebenarnya, kami pernah memiliki meja yang difungsikan untuk makan. Namun, berkat kelincahan dan mobilitas tinggi anak-anak saya dalam bermain dan berlarian di rumah, entah bagaimana ceritanya, meja yang berbahan kaca itu lantas retak. Dan, entah bagaimana ceritanya lagi, suatu saat sewaktu kami pulang dari bepergian, meja yang berbahan kaca itu sudah terbelah. Â
Bagi saya, keinginan untuk membeli meja makan beserta kursi-kursinya sebagai persiapan Ramadan, bukan sekadar tentang agar punya. Namun, lebih kepada harapan agar anak-anak bisa lebih bersemangat menjalani puasa yang siap mereka jalani dan telah mereka ikrarkan jauh-jauh hari. Dengan adanya meja makan, tentunya momen berbuka puasa dan makan sahur, bisa menjadi lebih seru.
Tentunya, keberadaan meja makan dan kursi-kursinya itu tidak akan menghilangkan kebiasaan di keluarga kami selama ini. Yakni kebiasaan untuk ngobrol selayaknya orang tua dan anak-anak sembari menyantap makanan. Semisal ketika sarapan, saya selalu bertanya kepada mereka tentang nanti di sekolah 'bermain' dan belajar apa, apakah bukunya disiapkan dan sebagainya. Dan ketika malam, sepulang kerja, obrolan kami akan lebih santai. Semisal tentang "tadi tidur siang mimpi bagus apa" dan juga acara televisi seru yang mereka tonton tadi sore. Bagi kami, ruangan makan (dan kini meja makan), tidak hanya berfungsi sekadar tempat makan. Tetapi juga menambah kedekatan kami.
Nah, persiapan saya yang kedua dalam menyambut Ramadan adalah berhati-hati mengonsumsi makanan. Terutama makanan yang pedas-pedas. Meski, saya termasuk penyuka pedas. Namun, jelang Ramadan, saya lebih memilih sejenak menajuhi dan lebih mengonsumsi makanan yang 'aman'. Semisal sayur bening, tumis dan jenis sayuran lainnya serta menghindari nasi pecel, mie ayam dan kawan-kawannya. Kalaupun ada sambal, secukupnya saja.
Kenapa? Karena saya punya riwayat kurang bagus dalam urusan mencerna makanan pedas. Meski penyuka pedas, tetapi bila sampai pada tahap terlalu, maka perut saya akan langsung bereaksi. Saya tentunya tidak mau menyambut Ramadan dengan kondisi perut sakit yang tentunya akan menganggu kekhusyukan beribadah puasa.