Apakah Anda ikut merasakan keseruan mengantar anak di hari pertama sekolah? Gaung mengantar anak di hari pertama sekolah tahun ini mungkin tidak seheboh tahun lalu. Maklum, tahun lalu, kampanye mengantar anak di hari pertama sekolah ini begitu digelorakan oleh kementerian terkait. Ada banyak sekali beritanya di media arus utama dan media sosial dengan tanda pagar tema itu. Bahkan, kala itu, di Kompasiana sampai ada kompetisi menulisnya. Â
Namun, ada atau tanpa gebyar kampanye, ada atau tidak ada lomba menulis, mengantar anak di hari pertama sekolah, tetap memunculkan perasaan luar biasa. Seru. Gelora semangatnya tidak berbeda dengan tahun lalu. Bahkan, bagi saya, kali ini lebih hebat. Bahkan menegangkan.
Tahun ini, anak saya yang pertama masuk SD. Sementara adiknya 'naik kelas' ke TK. Bila tahun lalu, keduanya bersekolah di sekolah yang sama, berangkatnya  bersamaan, tahun ini keduanya harus berpisah. Meski adiknya juga pindah ke sekolah baru yang searah dengan sekolah SD kakaknya.
Bagi saya, urusan mengantar anak ke sekolah di hari pertama ini bukanlah hal mudah. Namun, demi menjalankan peran sebagai ayah, hal yang tidak mudah itu kudu dibuat menyenangkan. Sebagai karyawan yang "belum merdeka" (baca bekerja ikut orang), saya kudu izin dulu. Tak hanya izin, saya kudu melapor kehadiran di tempat kerja dulu. Jadilah saya berangkat ke tempat kerja jam 5 pagi, lantas kembali ke rumah. Perjalanan pergi pulang Sidoarjo-Surabaya (yang normalnya 45-60 menit) kali ini bukan perjalanan biasa. Tapi, perjalanan menegangkan yang diliputi semangat dan kekhawatiran. Khawatir bila anak-anak terlambat. Sebab, mereka sudah harus di sekolah nya jam 7 pagi.
Maka, urusan ini seperti mengandaikan Valentino Rossi yang melakoni balapan dengan start dari posisi 10 lantas berusaha merangsek ke depan. Urusan ini seperti adegan di film The Mummy 2 ketika O'Connel berlari menembus hutan menggendong putranya untuk masuk ke kuil, berkejaran dengan semburat cahaya matahari pagi. Sebab, bila terlambat (terkena semburat sinar matahari), nyawa putra nya yang memakai gelang anubis, akan tamat. Tentu saja tidak se-dramatis itu cerita di jalanan Sidoarjo-Surabaya.
Yang jelas, kekhawatiran itu hilang saat tiba ke rumah. Melihat dua bocah yang sudah berseragam lengkap. "Ayah, kakak keren ya". "Ayah, adek siap berangkat". Dan kami pun berangkat dengan rentang waktu 20 menit menuju jam 7. Karena ada kegiatan pengarahan dan parenting di jam bersamaan, saya dan istri pun berbagi tugas. Istri mendampingi si kakak. Sementara saya bersama si bungsu. Maka, keseruan bersama bocah-bocah TK A itulah yang saya rasakan di hari pertama mengantar anak sekolah. Â
Keseruan ketika bocah-bocah itu enggan berbaris di aula lantas menangis, merengek minta didampingi orang tuanya, minta gendong, bahkan ada yang minta pulang. Anak saya? Untunglah dia tidak merengek. Awalnya hanya nempel di kaki saya, tapi lantas berani. Namun, mungkin karena bosan mendengar arahan guru-gurunya, dia memilih mengajak saya keluar barisan. "Ayah, adek main saja yah". Sampai jam pulang pukul 09.00 WIB, dia terlihat gembira. Dan saya pun merasa sukses besar. Â Â
Sukses karena tujuan saya tercapai. Ya, bagi saya, mengantar anak ke sekolah di hari pertama, tidak sekadar mengantar, lantas ditinggal pulang. Tidak begitu. Ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Pertama, saya wajib tahu siapa guru kelas anak saya. Lantas memperkenalkan diri, mengobrol dan meminta nomor telpon nya. Ini mungkin klise. Namun, tahu nomor telepon guru kelas itu wajib hukumnya. Tidak sekadar penting untuk memberitahu bila kelak anak kita berhalangan masuk sekolah. Tapi juga sangat penting untuk berkomunikasi bila lain hari kita terlambat menjemput dia usai pulang sekolah.
Kedua, dan ini tidak kalah penting. Mendampingi anak di hari pertama sekolah itu demi menanamkan stimuli kepada si bocah. Stimuli bahwa lingkungan sekolahnya yang baru itu menyenangkan. Dan kita sebagai orang tua, bisa ikut menciptakan stimuli tersebut. Caranya dengan membuatnya lebih percaya diri dan merasa nyaman dengan orang-orang baru yang ia temui. Sehingga, dia bisa bersemangat menjalani hari-hari berikutnya. Bersemangat bermain bersama teman-teman barunya dan juga gurunya.
Memang, sebelum memilih sekolah, saya mengenalkannya kepada beberapa pilihan sekolah (tentunya sudah saya seleksi) dan menyerahkan keputusan kepada dia. Karenanya, pilihan bersekolah di tempat itu adalah pilihannya. Namun, melihat sekolah ketika sendiri dibanding bertemu banyak orang, tentunya suasananya berbeda. Di situ, pikiran anak bisa berubah.