Berbicara masalah kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak, acapkali tidak ubahnya seperti perumpamaan sepasang suami istri membawa seekor keledai yang lantas dikomentari oleh orang di sekitarnya.
Bahwa, stigma yang muncul---utamanya di media massa yang kemudian jadi konsumsi informasi masyarakat---acapkali serba salah. Bila sepasang suami-istri itu menaiki keledai, mereka dianggap tidak berperikehewanan. Bila salah satu yang naik, keduanya dituding tak sayang istri atau malah suami takut istri. Tetapi bila tidak ada yang menaiki keledai itu, mereka dianggap orang bodoh karena memilih berjalan kaki padahal memiliki hewan yang bisa ditunggangi.Problem kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak juga begitu. Bila ada data angka kekerasan perempuan dan anak di kota A ternyata tinggi, maka mudah menyimpulkan bahwa pemerintah daerah tersebut kurang peduli pada perlindungan perempuan dan anak.
Padahal, catatan data itu bisa jadi karena masyarakat nya telah sadar untuk melaporkan perlakuan kekerasan yang mereka alami. Sebaliknya, bila angka pada data itu rendah, pemerintah nya tidak serta merta dianggap berhasil. Data itu justru dianggap tidak mewakili keadaan sebenarnya. Data itu dianggap ibarat gunung es yang bagian tidak tampak nya jauh lebih besar dibanding bagian yang tampak.
Lalu, bagaimana cara agar kita bisa satu pemahaman dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga tak seperti perumpaaan sepasang suami istri dan keledai nya tersebut? Butuh gerakan semesta yang memungkinkan tercapai nya kesepahaman berbagai pihak. Semua pihak perlu bergandengan tangan. Mulai orang tua (keluarga), guru (sekolah), pemerintah pusat dan daerah, media massa dan juga masyarakat media sosial (netizen). Harapannya, kekerasan terhadap perempuan dan anak ini di negeri ini bisa terus dikurangi, dicegah dan kelak bisa diakhiri.
Three Ends Sebagai Gerakan Semesta
Pemerintah telah melakukan aksi nyata agar harapan itu bukan sekadar angan-angan tak kesampaian. Sekira Maret 2016 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengenalkan program terobosan dalam upaya mengakhiri kekerasan pada anak dan perempuan. Three Ends, begitu nama program yang merangkul semua elemen anak negeri untuk bergerak bersama mengatasi masalah ini. Sesuai namanya, Three Ends ada sebagai upaya solutif untuk mengakhiri tiga masalah yang selama ini seolah jadi “pekerjaan rumah bersama” yang belum terselesaikan.
Tiga masalah itu yakni mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak (End Violence Against Women and Children), mengakhiri perdagangan manusia (End Human Trafficking) dan mengakhiri kesenjangan ekonomi (End Barriers To Economic Justice).
Kenapa kita perlu bergerak bersama dalam penanganan masalah ini? Cukup dengan melihat data yang ada, kita bisa menyimpulkan masalah ini memang serius dan tidak bisa ditangani sekali dua kali. Tetapi butuh penanganan secara periodik dengan melibatkan gerakan semesta.
Komisi Nasional Perempuan mencatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2015 lalu. Artinya, sekitar 881 kasus terjadi setiap hari. Dan, angka ini bahkan meningkat 9 % dari tahun sebelumnya. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.
Mengajak Korban Berani Terbuka
Dalam acara bincang-bincang dengan media bertema kesetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Surabaya di akhir tahun 2016, pemerhati masalah anak dan perempuan dari Save The Children, Diyan Wahyuningsih menyampaikan fakta yang bikin miris. Bahwa, mayoritas pelaku kekerasan dan eksploitasi perempuan dan anak, ternyata orang dekat korban. Bahwa korban ternyata mengenali pelaku kekerasan dan eksploitasi perempuan dan anak/perempuan tersebut.