Di masa jayanya, pamor sepak bola Italia yang terwakili oleh kompetisi Serie A Italia, mencuat karena beberapa hal. Salah satunya sistem pertahanan rapat berlapis yang tenar dengan nama Catenaccio. Sepak bola Italia juga mengagungkan pemain yang bermain seperti artis. Merekalah pemain bernomor 10. Mereka adalah pemain mistis. Italia punya banyak pemain bertipikal ini yang membuat Calcio terlihat lebih artistik. Ada nama Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, hingga Francesco Totti.
Namun, ada satu nama yang jadi antithesis dari sepak bola Italia. Satu nama yang tidak memiliki keterkaitan dengan sistem catenaccio dan pemain bernomor 10. Satu nama yang kemampuannya diragukan banyak kalangan. Tetapi, prestasinya di lapangan, jadi jawaban yang tak terbantahkan. Satu nama yang telah melegenda: Filippo Inzaghi.
13 Mei 2012, keheningan tercipta di akhir laga AC Milan vs Novarra yang merupakan laga pamungkas Serie A Italia musim 2011/12. Wajah Adriano Galliani, pria berkepala botak yang selama bertahun-tahun menjadi tangan kanan bos besar AC Milan, Silvio Berlusconi, terlihat sayu di bangku penonton. Tidak ada kegirangan yang seringkali dia perlihatkan ketika pemain-pemain Milan mencetak gol. Yang ada, wajah Galliani terlihat seperti seorang ayah yang hendak melepas pergi putra semata wayangnya kuliah ke luar negeri.
“Kami akan merindukan pemain berkarakter juara seperti Pippo. Seorang pria hebat yang membuat ruang ganti seperti seharusnya,” ujar Galliani.
Itulah momen ketika AC Milan melepas striker mereka, Filippo Inzaghi, setelah 11 tahun berkostum klub merah hitam itu. Sebuah perpisahan mengharukan. Saya yang kala itu hanya bisa melihat momen perpisahan Pippo itu lewat tayangan televisi, jadi ikutan trenyuh.
Pippo yang baru masuk di pertengahan babak kedua, seperti tahu bahwa ini laga ‘wisuda’ nya di Milan. Dia pun mencetak gol kemenangan 2-1 Milan. Sebuah gol yang jadi ciri khasnya. Jeli membaca arah umpan dengan ‘bersembunyi’ di bahu bek-bek lawan. Lantas tiba-tiba muncul untuk melakukan tendangan mematikan. Gol yang juga menjadi koleksi terakhirnya untuk I'rossonerri-julukan Milan.
Selama kariernya, Pippo pernah main di beberapa klub. Mulai dari klub kota kelahirannya Piacenza, kemudian Leffe, Verona, dan Parma. Namanya mulai terkenal ketika membela Atalanta, lalu pindah ke Juventus, hingga Milan.
Tetapi, di Milan-lah, Inzaghi menemukan makna ikatan keluarga. Sama seperti kebanyakan pemain Milan yang selalu berucap bahwa Milan itu seperti keluarga dan akan selalu menjadi keinginan untuk bisa mengakhiri karier disana. Dan Pippo menyadari, dia akan segera berpisah dengan keluarga besarnya. Keluarga yang sejak tahun 2001 telah memberinya banyak kenangan terbaik. Kenangan saat-saat mengangkat piala juara. Keluarga yang menemaninya di kala susah. Kala dirinya bergelut dengan cedera.
“Ada cinta yang terlalu besar untuk diakhiri hari ini. Milan akan selalu menjadi bagian terbaik dalam hidup saya. Sangat sulit meninggalkan mereka,” ujar Inzaghi kala itu.