Kesempatan besar bisa datang menghampiri siapa saja. Termasuk mereka yang masih berusia sangat muda. Namun, cerita yang acapkali terjadi, banyak anak muda yang belum siap dan tidak tahu caranya memeluk kesempatan besar itu. Bisa jadi karena kurang percaya diri sebab tak punya pengalaman. Atau karena dihantui oleh perasaan takut gagal dan kecemasan tingkat tinggi.
Tengoklah di Piala Eropa 2016 lalu. Ada banyak anak-anak muda yang mendapatkan kesempatan besar. Di usianya yang belum genap 20 tahun, mereka mendapatkan peluang yang sebelumnya mungkin hanya ada dalam mimpi tidur mereka. Peluang membela negaranya di tim senior dan tampil di kejuaraan sepak bola terbesar di benua. Bukankah itu peluang luar biasa besar bagi anak-anak muda berusia belasan tahun?
Namun, itu baru permulaan. Peluang sebenarnya yang akan menentukan apakah masa depan mereka cerah atau suram, dimulai ketika turnamen digelar. Dan kita tahu, ada banyak anak muda itu yang pada akhirnya sebatas hadir di Piala Eropa. Ada yang diberi peluang bermain, tetapi karena sinarnya tak istimewa, mereka pun terlupakan. Beberapa nama saja yang pesona nya terlihat terang. Salah satunya anak muda muda bernama Renato Junior Luz Sanches.
Ya, sebelum Piala Eropa 2016, rasanya sedikit saja yang mendengar nama ini. Kini, ada banyak orang penasaran mengetahui profil pemuda berusia 18 tahun ini setelah dirinya ikut membawa Portugal juara dan terpilih jadi pemain muda terbaik Piala Eropa 2016. Sanches telah berubah, dari bocah belasan tahun menjadi 'pahlawan' negaranya. Dia sudah jadi seperti Cristiano Ronaldo yang peran nya tidak tergantikan di Tim Portugal.
Renato Sanches adalah contoh nyata anak muda yang tidak mau menyia-nyiakan peluang besar yang datang kepadanya. Pemuda kelahiran 18 Agustus 1997 ini berhasil memaksimalkan kesempatan besar yang diberikan pelatihnya. Kesempatan yang mungkin tidak akan didapatnya untuk yang kedua kali andai saja dia tak mampu memeluknya erat.
Ketika namanya masuk Tim Portugal ke EURO 2016 setelah mencatat 35 penampilan dan bikin 2 gol di Benfica sepanjang musim 2016/17, orang masih beranggapan dia sekadar “diajak nonton bola dari pinggir lapangan” di Prancis. Apalagi, dia baru mencatat lima caps di tim Portugal. Itu pun sebagai pemain cadangan yang turun ke lapangan di menit-menit akhir laga.
Dan benar adanya. Di laga pertama Portugal melawan Islandia, Sanches tak main sebagai pemain inti. Dia baru diberi kesempatan main di menit ke-71, menggantikan Joao Moutinho.
Dan, Anda tahu, bagi pemain yang tidak setiap waktu mendapat kesempatan main, waktu 20 menit ini seperti masa audisi yang akan menentukan masa depannya. Bila ia tampil baik, kesempatan berikutnya akan datang. Sebaliknya, bila tampil buruk, tak akan ada lagi kesempatan kedua. Yang terjadi, tidak ada perubahan besar yang bisa dia berikan. Portugal ditahan Eslandia 1-1.
Dan perandaian audisi itu benar adanya. Di laga kedua melawan Austria, Sanches tak dimainkan semenit pun. Piala Eropa pun sepertinya akan berakhir cepat baginya seiring hasil kurang bagus yang diraih Portugal.
Tetapi, pelatih Portugal, Fernando Santos rupanya masih berbaik hati. Mungkin juga dia berjudi karena tak punya banyak pilihan sehingga dia pun memberi kesempatan kedua bagi Sanches. Di laga terakhir grup melawan Hungaria, Sanches dimainkan di awal babak kedua. Dan Sanches tahu persis, ini bak kesempatan terakhir baginya. Dia hanya punya dua pilihan: selesai atau terus belanjut. Yang terjadi, Sanches bermain jauh lebih tenang dan mampu menyegarkan lini tengah Portugal yang loyo di babak pertama.
Dia ikut berperan dalam terjadinya dua gol Portugal yang sempat tertinggal dua kali dan membuat laga berakhir 3-3. Sanches lalu kembali dimainkan di babak kedua ketika melawan Kroasia di babak 16 besar. Dia ikut punya andil dalam kemenangan dramatis 1-0 via gol di masa perpanjangan waktu.