Adu penalti adalah salah satu drama paling melankolis yang ada di sepak bola. Penalti adalah salah satu “rahasia Tuhan” di sepak bola. Tidak ada yang tahu bagaimana hasil akhirnya. Lewat cara sederhana--penendang penalti menendang bola berhadap-hadapan langsung dengan kiper dan tanpa dihalangi ‘pagar hidup’---siapa saja bisa menjadi pahlawan. Dan, dari momen yang ketika permainan normal acapkali dilabeli sebagai “pemberian wasit” ini, siapa saja bisa jadi pecundang.
Siapa saja bisa gagal dalam adu penalti. Tidak peduli dia berstatus pemain bintang. Tanyakan pada Gonzalo Higuain yang gagal dalam adu penalti pada final Copa America 2015 saat Argentina kalah dari Chile. Kurang apa Higuain? Menjebol gawang adalah pekerjaannya. Jangankan dari jarak 12 meter dan hanya berhadap-hadapan dengan kiper, bikin gol dari jarak lebih jauh dari itu dan juga dari sudut yang sempit, sudah bolak-balik ia lakukan di klubnya (Real Madrid dan Napoli).
Tetapi, adu penalti itu bukan hanya soal kemampuan teknik. Bukan hanya soal skill. Bukan pula sekadar status kebintangan pemain. Tapi juga soal kesiapan mental. Dan keberuntungan. Bahkan mungkin juga soal nasib. Dan bicara nasib, kiranya Miguel Angel Trauco Saavedra, bek kiri Timnas Peru, boleh meratap betapa tidak beruntungnya dirinya.
Ketika Peru melawan Kolombia di perempat final Copa America 2016 pada Sabtu (18/6) lalu, laga berakhir 0-0. Penentuan pemenang pun ditentukan lewat adu penalti. Kolombia mendapat giliran pertama. Disusul Peru. Ketika giliran Trauco maju sebagai eksekutor ketiga, skor sudah 3-2 untuk Kolombia. Artinya, lima penendang sebelumnya tidak ada yang gagal. Semuanya berhasil menjalankan tugasnya.
Dan beberapa menit kemudian, petualangan Peru di Copa America 2016 pun berakhir. Sepakan penendang keempat Peru, Christian Cueva kembali gagal berbuah gol. Peru out dengan skor 2-4. Kekalahan dalam adu penalti itu memang hal biasa. Tetapi, cara pemain-pemain Peru ketika secara "berjamaah" menghibur rekan setimnya yang gagal, itu tidak biasa. Bahkan, itu hal yang menginspirasi. Kenapa?
Sebab, kebanyakan ketika ada penendang penalti yang gagal, rekan setim nya “hanya menunggu” di tempat mereka berbaris. Kebanyakan, mereka hanya membiarkan sendiri rekan setimnya dihujani kesedihan. Seolah-olah lupa bahwa mereka adalah satu tim. Sehingga, senang dan susah haruslah ditanggung bersama-sama. Apalagi, acapkali, penendang penalti yang gagal, diperlakukan sedemikian tidak adil. Baik oleh media, maupun negaranya.
Terkait hal ini, tengok apa yang dialami oleh Carlos Tevez di Copa America 2011 lalu. Kala itu, Argentina yang menjadi tuan rumah, menghadapi Uruguay di perempat final. Laga berakhir 1-1 dan berlanjut penalti. Ketika skor adu penalti 2-2, Tevez maju jadi penendang ketiga. Apa daya, sepakannya gagal jadi gol. Dan Argentina pun kalah 4-5 dari Uruguay yang lantas bablas jadi juara. Tahu bagaimana hukuman yang diterima Tevez? Sungguh terlalu.
Media-media Argentina mem-bully pemain Terbaik Amerika Latin 2004 dan 2005 ini sebagai biang kegagalan Argentina. Tevez bak pemain bodoh. Bahkan, Tevez juga “dihukum” oleh Federasi Sepak Bola Argentina (AFA). Ketika posisi pelatih pelatih Argentina berganti dari Sergio Batista ke Alejandro Sabella pada Juli 2011, pintu Timnas Argentina seperti tertutup untuk Tevez. Dia tak dipanggil selama tiga tahun !
Padahal, seorang penendang penalti seperti Tevez, juga Traujo dan Chueva, mereka adalah pemberani. Entah mereka sendiri yang meminta menendang atau si pelatih yang menentukan, mereka adalah orang-orang yang berani mengambil risiko. Seperti kata pemain top Italia, Roberto Baggio yang dikenang orang lewat penalti nya yang gagal di final Piala Dunia 1994.