Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Penting bagi Pria dalam Memaknai Hari Kartini

21 April 2016   14:20 Diperbarui: 21 April 2016   14:41 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Be a well educated woman. If yu educate a man, you only educated a person. If you educated a woman, you educate a generation...

21 April datang. Hari Kartini. Apa yang terbayang dalam benak Anda ketika Hari Kartini, datang menyapa.

Anda mungkin jadi ibu yang super sibuk, berkeliling mencari tempat penyewaan baju/kostum bagi putra-putri nya, lantas mendandani mereka sejak pagi demi bisa merayakan “kartini-an” di sekolah mereka. Anda mungkin sibuk menyiapkan “baju kebanggaan” sejak beberapa hari lalu demi keharusan merayakan kartini-an di kantor masing-masing.

Memaknai Hari Kartini tentunya bukan hanya urusan baju untuk kartini-an. Ada kontemplasi. Ada Perenungan. Hari Kartini bisa menjadi cermin bagi perempuan untuk berikhtiar menjadi wanita yang terdidik. Wanita yang punya semangat untuk maju. Wanita yang tidak hanya sukses dalam karier, tetapi juga sukses dalam rumah tangga, sukses dalam mendidik anak. Seperti kalimat yang saya tuliskan di awal tulisan ini.

Lalu, adakah porsi bagi laki-laki dalam memaknai Hari Kartini? Apakah perayaan Hari Kartini merupakan ekslusivitas gender bagi para perempuan? Ternyata tidak. Laki-laki, utamanya para suami dan para calon ayah, juga bisa mengambil pelajaran penting dalam memaknai peringatan Hari Kartini.

Pelajaran penting itu saya dapatkan dari hasil ngobrol-ngobrol (untuk tidak menyebut wawancara) dengan dokter spesialis obstetri genekologi (ahli kebidanan dan penyakit kandungan) RSUD dr Soetomo, DR Hermanto Surabaya pada awal pekan kemarin. Dokter senior ini mengatakan, Kartini diperkirakan meninggal karena komplikasi persalinan.

Karenanya, bersama beberapa elemen, dia menginisiasi gelaran acara renungan perempuan di malam peringatan Hari Kartini, untuk menggugah kesadaran masyarakat bahwa kematian akibat persalinan sebenarnya bisa dicegah.

“Ibu Kartini meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Di kalangan dokter, Ibu Kartini meninggal akibat komplikasi persalinan (mungkin perdarahan, mungkin preeklampsi),” kata pak dokter berusia 60 tahun ini

Memang, tidak ada/belum ada catatan sejarah yang jelas menjelaskan tentang penyebab pasti meninggalya RA Kartini. Tetapi, Kartini meninggal usai melahirkan anak pertamanya yang bernama Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. Menurut data, Kartini meninggal pada 17 September 1904, empat hari setelah kelahiran anak pertamanya pada 13 September 1904. Inilah benang merahnya. Bahwa Kartini meninggal setelah melahirkan anaknya. Dan itu menyiratkan bahwa sampai akhir hayatnya, pun Kartini masih berjuang, setidaknya untuk anaknya sendiri.

Apa itu preeklampsia? Adalah tekanan darah tinggi yang terjadi pada ibu hamil dan kelebihan kadar protein dalam urine. Tekanan darah ibu hamil dengan preeklampsia biasanya berada di atas 130/90 mmHg. Sedangkan tekanan darah normal manusia sekitar 120/80 mmHg. Ibu hamil bisa dikatakan menderita preeklampsia jika kehamilan ya sudah mencapai usia lebih dari 20 minggu. Eklamsi merupakan “pembunuh terbanyak” bagi ibu hamil.

Data di RSUD dr Soetomo Surabaya, dalam tiga tahun terakhir, ada 180 kasus kehamilan yang berujung sang ibu meninggal. Bila dirata-rata, dalam setahun ada 60 ibu meninggal. Bila dibagi dalam 52 minggu, setiap satu pekan ada satu ibu meninggal. Penyebabnya, kebanyakan ketika dirujuk, si ibu sudah dalam kondisi gawat. Terlambat kontrol.

Lalu, apa peran yang bisa dilakukan laki-laki dalam memaknai Hari Kartini?

Pesan pentingnya adalah, para suami dan para calon ayah, bisa lebih care (peduli) terhadap istrinya. Kita bisa menjadi lebih teredukasi. Bahwa menjadi penting untuk merencanakan kehamilan, jumlah anak dan juga jarak kehamilan. Penting untuk menjadikan tiga hal itu sebagai ‘kesepakatan bersama’. Sehingga, ada identifikasi risiko yang bisa diantisipasi bersama.

Dan yang tidak kalah penting adalah melakukan kontrol sebelum dan selama masa kehamilan. Paling sedikit 12 kali kontrol. Tiga kali pada semester awal. Tiga kali pada semester kedua. Dan, enam kali pada semester tiga. Kata dokter, kontrol yang teratur ini bisa menurunkan risiko kematian ibu hamil hingga 50 persen.

Pada masa kontrol inilah, ke-care-an laki-laki pada perempuan akan terlihat. Apakah sekadar mau mengantar istri kontrol ke klinik ( menurut saya keterlaluan bila tidak mau mengantar hanya karena alasan kerja) lantas hanya menunggu di ruang tunggu, atau bersama-sama masuk ke ruang periksa sembari mendengarkan penjelasan dari dokter sebagai informasi penting.

Dulu, saat istri saya tengah mengandung anak pertama, pernah ketika periksa di sebuah klinik kandungan, kebetulan bertemu seorang kawan yang juga mengantar istri nya periksa. Nah, yang membuat saya heran, si kawan tersebut hanya menunggu di luar klinik. Duduk santai di atas motornya. Hanya istri nya yang masuk ke ruangan dokter. Lha.

Saya pun jadi tergoda berprasangka. Mungkin saja dia merasa suami tidak boleh masuk ke ruang periksa. Mungkin saja dia menganggap cukup istri nya saja yang tahu perkembangan janin nya karena toh istrinya yang akan melahirkan. Mungkin saja dia fobia bertemu dokter. Mungkin...mungkin.

Bagi saya, untuk urusan kehamilan, seorang suami juga wajib tahu segala hal tentang kandungan sang istri. Karenanya, kesempatan bertemu dokter ketika kontrol, adalah kesempatan emas untuk bertanya banyak hal tentang perkembangan janin. Bukan sekadar datang, periksa, lantas pulang. Dengan mendampingi istri melakukan kontrol, ketika ada risiko yang mengkhawatirkan, suami bisa berperan untuk memotivasi dan menguatkan mental psikologisnya.

Ya, penting untuk memaknai Hari Kartini sebagai momen untuk menggugah kepedulian terhadap keselamatan ibu melahirkan. Sebagai momen agar para suami dan calon ayah, lebih peduli pada istri nya. Sebab, seorang ibu dan calon ibu serta janinnya, adalah aset strategis bangsa dan pemilik masa depan: ibu hamil dan janinnua. Tidak seharusnya bila seorang ibu yang menjadi perantara lahirnya kehidupan baru dalam keberlangsungan bangsa ini, justru tidak dapat terselamatkan. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun