Jangan kaget bila Anda datang ke Madura dan mendapati ada banyak petani cerdas di sana. Para petani di Madura yang sebelumnya menganggap bertani sekadar berkegiatan, kini punya wawasan luas untuk maju. Perubahan pola pikir petani di Madura itu bukan seperti membalik telapak tangan. Tetapi hasil kerja keras dari proses pencerahan yang dilakukan anak muda bernama Nur Rahmad Akhirullah.
Jarang ada anak muda yang punya perhatian besar terhadap nasib para petani di negeri ini. Sulit menemukan anak muda yang memiliki wawasan luas di bidang pertanian lantas tergerak untuk melakukan perubahan pada nasih petani yang selama bertahun-tahun merasa nyaman dengan pola pikir bertani tradisional yang kenyataannya tidak mampu membuat mereka hidup sejahtera. Nur Ahmad Akhirullah menjadi satu dari anak muda yang jarang dan sulit ditemukan itu.
[caption caption="Nara, tanpa pamrih mengedukasi petani di Pulau Madura/foto pribadi Nara"][/caption]Dalam setahun terakhir, Nara--panggilan akrab Nur Ahmad Akhirullah--dengan semangat luar biasa dan tanpa pamrih, membagikan wawasan pertanian dan ilmu manajemen pemasaran yang didapatnya di bangku kuliah, untuk mengedukasi para petani di Madura. Dia tidak peduli meski pada awalnya, upaya nya itu sempat disebut teman-temannya hanya buang-buang waktu karena menganggap mustahil untuk mengubah mind set (pola pikir) petani di sana.
Munculnya semangat Nara untuk mengedukasi para petani di pulau garam tersebut, bermula dari pengalamannya mendidik dan memotivasi anak-anak di kawasan pelosok Madura. Pengalaman bertemu anak-anak yang seharusnya menyenangkan itu, justru membuatnya miris. Dia mendapati kenyataan yang membuatnya tergerak untuk memberikan pencerahan kepada orang tua dari anak-anak itu: para petani.
Anak-Anak Petani yang “Dilarang” Bercita-Cita Petani
Kala itu, September 2014, Nara ikut menjadi relawan dalam program mengajar “Kelas Inspirasi”. Yakni gerakan para profesional turun ke Sekolah Dasar (SD) di kawasan pelosok selama sehari, untuk berbagi cerita pengalaman kerja kepada anak-anak. Nara yang ketika itu masih bekerja sebagai jurnalis di surat kabar terkenal di Surabaya, turun ke desa guna memotivasi anak-anak SD agar memiliki cita-cita luas.
[caption caption="Nara ketika jadi relawan pengajar dalam program Kelas inspirasi/foto pribadi"]
“Dari sekian anak yang ikut Kelas Inspirasi, semuanya anak petani. Tetapi, tidak ada satu pun anak petani itu yang punya cita-cita jadi petani. Itu yang membuat saya ngeri,” ujar Nara ketika menceritakan pengalamannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah ketika anak-anak desa tersebut tidak menjadikan profesi petani sebagai cita-cita. Toh, setiap anak berhak punya cita-citanya sendiri. Tidak jarang orang tua yang berharap anak-anaknya tidak seperti mereka, tetapi menjadi lebih baik. Bila orang tua nya petani, anak-anaknya “dilarang” untuk ikut-ikutan jadi petani.
Namun, bagi Nara yang sejak kecil tumbuh di desa dengan diapit areal persawahan, kenyataan itu sebuah ironi yang miris. Muncul pertanyaan besar dibenaknya: “kenapa tidak ada seorang pun anak petani yang mau jadi petani”. Padahal, petani punya peran strategis dalam menjaga ketersediaan suplai makanan bagi masyarakat. Karenanya, ia sampai pada sebuah pengandaian “kalau tidak ada petani dan regenerasi petani, lalu siapa yang akan bertani dan menanami sawah dengan padi dan aneka sayur mayur untuk dikonsumsi masyarakat”.
Kengerian Nara semakin menjadi ketika dia membaca beberapa tulisan ulasan media-media internasional seperti National Geopraphic. Juga media nasional seperti Kompas dan Jawa Pos pada edisi spesial tahun baru 2014 silam. Ia ingat, dalam ulasan koran nasional tersebut, dikemukakan bahwa pada 2017 nanti, Indonesia akan mengalami krisis pangan.
Data hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimuat di beberapa media nasional pada Juli 2014 silam, juga memperkuat kengerian Nara. Menurut hasil survei BPS tersebut, selama periode 2003-2013, rumah tangga yang menanam padi (di tahun 2003) sejumlah 14,2 juta rumah tangga, sementara ( di tahun 2013) turun menjadi 14,1 juta. Artinya, selama sepuluh tahun, ada satu juta petani di negeri ini yang ‘pensiun’ bertani. (http://www.voaindonesia.com/content/bps-jumlah-petani-di-indonesia-terus-berkurang/1949152.html).
Data Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada September 2015 silam juga merilis kabar buruk bagi dunia pertanian di negeri ini. Bahwa profesi petani terus mengalami penurunan. Setiap tahunnya, 15 ribu petani telah meninggalkan profesinya. (http://economy.okezone.com/read/2015/09/22/320/1219099/jumlah-petani-berkurang-15-ribu-orang-tiap-tahun).
Pengakuan anak-anak petani yang tak pernah bangga punya cita-cita menjadi petani dan bahkan dilarang orang tua mereka untuk bertani karena kenyataan miskinnya pelaku pertanian di negeri ini, membuat Nara tersentak. Dia merasa menemukan inspirasi akan melakukan apa di usianya yang masih muda. Ketika selesai mengikuti program Kelas Inspirasi dan mulai terpikir untuk melakukan gerakan mengedukasi petani itu, usia Nara belum genap 30 tahun.
“Saya awalnya ingin menginspirasi anak-anak itu. Tetapi justru mereka yang memberi saya inspirasi,” kenang Nara.
Memahami Bertani dengan Alih Profesi Jadi Petani
Nara berkeinginan menghidupkan harapan petani untuk melakukan perbaikan hidup dan bangga menjadi petani. Alumnus Manajemen Pemasaran Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura ini ingin melihat petani di negeri ini, punya wawasan luas sehingga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Rencana besar itu dimulainya dari petani-petani di Madura. Maka, dua bulan setelah selesainya program Kelas Inspirasi, November 2014, mulailah Nara menyusun rencana untuk menjalankan misinya itu.
Namun, dia sadar. Bekal pengetahuan teori yang didapat dari baca-baca buku dan majalah pertanian saja, tidak akan cukup untuk meyakinkan para petani. Dia merasa harus merasakan langsung dunia pertanian. Maka, dia pun mengambil keputusan besar dalam hidupnya: pensiun dini dari profesi jurnalis. Dia mundur dari media tempatnya bekerja. Padahal, dia dinilai punya prospek karier bagus.
Demi ingin memahami kehidupan petani dan merasakan apa saja masalah petani, Nara memutuskan jadi petani. Dengan uang tabungan yang ada, dia menyewa lahan di Bangkalan untuk ditanami sayur dan singkong gajah. Dari situ, dia bisa belajar langsung menjadi petani. Bukan hanya teori. Dengan sering pergi ke sawah untuk bertani, dia banyak bergaul dengan beberapa petani. Dia bisa mendengar keluhan dan juga harapan mereka. Obrolan-obrolan di pematang sawah itu dianggapnya sebagai aspirasi murni dari para petani yang perlu ditindaklanjuti.
“Saya ingin tahu sendiri bagaimana menjadi petani. Dan itu memang susah,” ujar Nara.
[caption caption="Memamerkan hasil tani dari ladang sendiri/foto pribadi"]
Mengubah Mind Set Petani Lewat Blusukan ke Desa-Desa
Namun, ternyata tidak mudah untuk memulai aksi itu. Tidak mudah mengumpulkan petani untuk diajak berdiskusi dan menyampaikan apa saja masalah yang mereka hadapi. Nara tidak kehabisan akal. Dia lantas meminta bantuan para tokoh ataupun kepala desa setempat untuk ikut serta dalam program tersebut. Berdua, mereka mendatangi rumah para tokoh desa di Bangkalan yang menjadi tujuan, untuk menyampaikan gagasannya. Dan itu berhasil.
Berhasil di kegiatan pertama, Nara pun lebih aktif menghidupkan forum diskusi petani. Dari hanya berdua, forum itu terus berkembang. Dia lalu mengajak mahasiswa, aktivis untuk bergabung. Mereka semakin rajin blusukan ke desa-desa untuk berdiskusi dengan petani. Diantaranya petani di Desa Soket, Laok, Kecamatan Tragah, petani di Desa Labang Kecamatan Labang, lalu petani di Desa Bilaporah, Kecamatan Socah, juga petani di Desa Modung, Kecamatan Modung, Bangkalan.
Hampir semua kecamatan di Bangkalan yang jumlahnya 18 kecamatan, sudah didatangi. Di mana setiap kecamatan ada tiga hingga empat desa yang disinggahi. Setelah Bangkalan, Nara juga menyambangi petani di kota lain di Pulau Garam seperti Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Termasuk ke Bondowoso, Madiun, dan Brebes (Jawa Tengah).
[caption caption="Nara bersama kader serikat tani maju/foto pribadi"]
“Yang utama disampaikan saat diskusi adalah menyampaikan betapa mulianya profesi petani. Lalu masuk pada materi teknis pertanian yang modern,” ujarnya.
[caption caption="Selain berbagi pengetahuan, juga memberikan pelatihan teknis bertani/foto pribadi"]
“Jarang sekali ada petani yang bermind-set pengusaha,” kata dia.
Nara juga jadi tahu, ada banyak petani yang memiliki keterbatasan pengetahuan. Bertani tetapi tidak memiliki ilmu di bidang pertanian maupun pengolahan hasil taninya. Selain juga masalah keterbatasan modal dan semakin sedikitnya jumlah petani karena memilih untuk menjual areal sawah mereka. Persoalan itu menurutnya yang harus diselesaikan untuk memuliakan petani. Pemerintah, kata dia, sebenarnya tak kurang-kurangnya memperhatikan pertanian.
“Tetapi perhatian itu saja menurut saya tidak cukup. Pendidikan untuk petani-lah yang sangat diperlukan. Itu harus segera dilakukan sesering mungkin. Dimulai dari mengubah mind set petani,” jelas Nara.
Memimpikan Petani yang Melek Teknologi
Karenanya, tidak hanya berdiskusi, Nara dan kawan-kawannya juga membentuk kelompok-kelompok tani (Poktan). Mereka juga membentuk Serikat Tani Mandiri. Hingga kini, mereka terus membentuk Poktan baru sebagai wadah pembelajaran dan kaderisasi tani secara teknis, organisatoris dan juga politis dalam artian membentuk petani yang melek aturan-aturan terkait pertanian, juga melek hak dan kewajiban sebagai petani.
Nara mengaku, butuh waktu agak panjang untuk mengkader petani. Terlebih untuk menjadikan mereka paham aturan dan teknologi. Sebab, petani di Madura sudah terlanjur miskin sejak pikiran dan antipati terhadap hal-hal seperti itu (teknologi).
Namun, ia kini cukup bergembira melihat adanya kemauan petani untuk bergotong royong. Nilai itu yang disebutnya sempat hilang dari petani di Madura. Etos gotong royong sebelumnya hanya ada ketika acara pernikahan atau ada warga yang sakit atau meninggal. Sementara untuk urusan kerja, di desa sama saja dengan di kota yang mengedepankan egoisme. Dengan menumbuhkan gotong-royong diantara sesama petani, getok tular (transfer) pengetahuan pun menjadi lebih mudah.
[caption caption="Tampil di media memberi penjelasan tentang harga pangan/foto pribadi "]
“Kami masih harus berjuang untuk meningkatkan kualitas petani dalam hal itu (teknologi). Jalan masih panjang mas,” ungkap pengagum Bung Karno ini.
Memotivasi Anak-Anak Bangga Jadi Petani
Melalui semangat besar nya untuk mengedukasi dan mengkader petani di Madura menjadi ber pola pikir modern, Nara menjadi contoh nyata bahwa sebaik-baik manusia adalah yang nilai kemanfaatannya paling besar bagi sesama. Nara menjadi gambaran anak muda yang peduli pada pendidikan anak-anak di kawasan pelosok, juga terhadap nasib petani. Tak hanya mendorong anak-anak petani agar bercita-cita luas, dia juga mengedukasi orang tua anak-anak itu untuk bangga dengan profesinya sebagai petani.
Tentang kebanggaan nya menjadi petani itu, Nara sempat menggoda saya untuk segera resign dari tempat kerja saya dan beralih profesi jadi petani. Kata dia “kalau mau kaya, ndang cepetan (segera) jadi petani, mas. Bertani adalah usaha yang menguntungkan dengan perhitungan yang tidak terlalu rumit. Beda dengan usaha lain yang harus detail dalam analisanya”.
Ke depan, suami dari Linda Rakhmawati ini bertekad untuk terus mengedukasi dan mengkader petani-petani. Tidak hanya di Madura tetapi juga di kota-kota lainnya di Indonesia. “Tujuan terakhir ku bukan petani mas, melainkan bangsa. Karena petani sejahtera, negara kuat dan bangsa maju,” kata dia.
[caption caption="Terus Semangat Lakukan Pengkaderan Petani di Madura/foto pribadi"]
“Saya akan terus menjadi relawan kelas inspirasi. Tapi sekarang ngisinya sebagai petani. Bukan jurnalis lagi. Saya ingin memotivasi anak-anak di desa-desa untuk bangga bercita-cita sebagai petani”. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H