“Dulu waktu saya masih menjadi Dirjen SDA, kawasan di situ (Banyu Urip) selalu banjir”.
Begitu ujaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono mengawali cerita pengalaman pernah kebanjiran dan terjebak macet di kawasan Banyu Urip, Surabaya, beberapa tahun lalu.
Cerita itu disampaikan pak menteri Basuki Hadimuljono ketika berkunjung ke kantor Wali Kota Surabaya pada 14 Juli 2015 lalu. Lebih tepatnya, pak menteri ketika itu mampir ke Surabaya di sela jadwal padat nya bertemu dengan warga terdampak lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Saya yang waktu itu bekerja sebagai staf Bagian Humas Pemkot Surabaya, bisa berkesempatan ikut menyambut rombongan pak menteri di ruang kerja bu wali. Di situlah, saya ikut mendengarkan pak menteri bercerita. Seperti Bu Risma (Wali Kota Surabaya) dan pejabat-pejabat Pemkot lainnya, saya ikut serius mendengarkan dan sesekali tertawa ketika pak menteri melempar guyonan.
Usai dari kantor wali kota, seolah ingin bernostalgia, pak menteri lantas menyempatkan datang ke Banyu Urip untuk melihat progres pengerjaan saluran box culvert (warga Surabaya terbiasa menyebutnya gorong-gorong). Pak menteri rupanya tergoda oleh “promosi” Bu Risma bahwa lokasi tersebut kini sudah jauh berbeda dibanding dulu. Lagi-lagi saya beruntung, bisa ikut dalam rombongan iring-iringan mobil menuju box culvert Banyu Urip tersebut.
Dan memang, lokasi Banyu Urip kini sudah jauh berubah. Ketika musim hujan tiba, tidak ada lagi terdengar kabar berita kebanjiran. Kemacetan yang dulunya terlihat di sepanjang jalan di sana dari pagi hingga sore, kini juga tinggal kenangan.
Atasi Banjir dengan Konversi Saluran Irigasi Jadi Drainase
Padahal, sekitar 10 tahun lalu, Banyu Urip merupakan “kawasan percontohan” betapa banjir dan macet merupakan satu paket tak terpisahkan. Keduanya bak sepasang ‘anak kembar’ yang selalu bersama. Kenyataannya, setiap kali hujan deras yang berimbas pada terjadinya genangan air dan banjir, maka yang muncul kemudian adalah kemacetan mengular. Bisa dibilang, di mana ada hujan deras, di situ terjadi kemacetan.
Situasi seperti itulah yang dulunya kerap terjadi di kawasan Banyu Urip, Surabaya Barat. Banjir dan macet selalu datang bersamaan. Karena ketinggian daratan nya yang berada di bawah permukaan sungai, maka kawasan tersebut rentan banjir. Setiap kali hujan deras turun, sungai di seberang jalan raya itu meluap, airnya pun tumpah menggenangi rumah-rumah warga. Air sungai juga berpindah tempat ke ruas jalan. Genangan air menghambat laju kendaraan yang melintasi jalan itu. Imbasnya, jalan raya nasional (pusat) yang menghubungkan Surabaya menuju Gresik dan arah sebaliknya itupun penuh sesak oleh kendaraan. Macet parah.
Beberapa warga di sana yang pernah saya ajak ngobrol, mengaku dulunya sempat pasrah, hidup mereka selamanya akan seperti itu: berkawan dengan banjir dan macet. “Mbiyen cuman iso pasrah aeh mas (dulu hanya bisa pasrah),” kata seorang teman kantor yang rutin melalui jalur di kawasan Banyu Urip.
Dan memang, bukan pekerjaan gampang mengatasi banjir dan macet yang sudah akut seperti yang terjadi di kawasan Banyu Urip. Butuh solusi dan inovasi cerdas untuk mengatasi masalah serius yang kerapkali terjadi di perkotaan ini.
Dihadapkan pada pilihan memilih menyelesaikan banjir atau macet, pilihan awal yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama Pemkot Surabaya adalah menyelesaikan banjir nya dulu. Caranya, sungai dan saluran air yang dianggap jadi “sumber masalah”, digarap. Tidak hanya dinormalisasi atau dilebarkan seperti pada umumnya, sungai tersebut ‘diakhiri riwayatnya’. Inovasi nya adalah dengan menerapkan konsep konversi saluran irigasi menjadi saluran drainase melalui pemasangan box culvert.