Mohon tunggu...
Hada Hamda
Hada Hamda Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Calon penulis yang sedang menunggu jadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Bapak Pensiunan Jendral dan Sepotong Senja

28 April 2014   18:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:06 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Senja terpantul dari kacamata laki-laki tua yang badannya masih tegap.  Laki-laki yang sudah sepuluh tahun pensiun sebagai seorang jenderal.  Tubuhnya tak loyo seperti pegawai negeri yang pensiun.  Rajin berolah raga.

"Sedang menikmati senja, Pak Jenderal?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat di pinggir lapangan tempat jenderal berdiri menatap senja.

Pak Jenderal hanya tersenyum.  Senyum yang selalu diberikan kepada siapa saja.

"Sore, Pak Jenderal," sapa seorang tukang sate keliling yang juga sudah puluhan tahun berdagang sate di kompleks tempat Pak Jenderal tinggal.

Pak Jenderal hanya melambai.

Seluruh penghuni kompleks tempat Jenderal tinggal memang mengenal laki-laki tegap itu.  Laki-laki yang hidup dalam kesederhanaan.  Rumahnya hanya rumah ukuran 70 meter persegi.  Tak punya anak.  Hanya seorang istri setia.  Yang kadang-kadang ikut olahraga, kadang-kadang lebih suka menyapu halaman yang tak seberapa.

"Ngeteh dulu, Pak Jenderal," ajak seorang laki-laki yang kepalanya sudah penuh dengan uban.  Mungkin lebih tua usianya dari Pak Jenderal.

Semua orang tahu, stelah pensiun 10 tahun yang lalu, Pak Jenderal hanya berkegiatan olahraga.  Dia seperti sedang menyepi dari hiruk pikuk dunia.  Ada yang pernah menyarankan untuk ikut terjun ke politik, tapi langsung ditampik oleh Pak Jenderal.  Ada juga yang menyarankan untuk berbisnis, hasilnya sama saja.  Pak Jenderal seperti tak bisa digoyahkan dengan apa pun.

Yang tak pernah diketahui banyak orang.  Pak Jenderal sering memandang senja.  Sendirian.  Kadang di lapangan kompleks.  Kadang di atas rumahnya sendiri.  Dekat jemuran pakaian.

Saat melihat senja, Pak Jenderal selalu menitikkan air mata.  Teringat pada masa lalu.  Saat tangan dan tubuhnya tak bisa menolak untuk meluci pemuda yang dianggap ekstrimis.  Hingga pemuda itu lunglai, dan menghembuskan terakhir kali pada saat senja.  Sambil memandang senja.  Lalu berkata kepada Pak Jenderal, "Pak Jenderal, Anda seharusnya bisa melihat keindahan senja".  Lalu pemuda itu pun tiada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun