[caption id="" align="alignright" width="343" caption="Kebutuhan anak muda Aceh akan internet murah dan terjangkau sudah sangat mendesak. Selain untuk pendidikan, internet juga dibutuhkan untuk menjalankan bisnis dan kebutuhan lainnya. Foto: Roni Muchtar/Hinamagazine"][/caption]
ERA digital sudah didepan mata bahkan sedang kita hadapi, mau tidak mau kita telah berada dalam koridor ini. Kemajuan teknologi informasi yang makin berimbas pada pesatnya informasi yang berkembang tanpa henti. Ada hal menarik yang jika kita lihat secara seksama, seberapa penting masyrakat Indonesia mengenal dunia ini (baca: teknologi informasi).
Melihat menjamurnya pengembangan infrastruktur dimana-mana, (mungkin) juga sudah mewabah ke pelosok desa dan itu tidak semua merata. Kita tahun pemerintah dan berbagai instansi atau lembaga ikut mendukung dengan gejala perkembangan laju arus informasi yang makin sering diakses oleh berbagai kalangan, dari para anak sekolah sampai mereka para pengusaha kaya raya pun.
Lahirnya teknologi disaat seperti ini telah menembuh crakrawala dunia, tidak membatasi usia bahkan profesi sekalipun, namun bisa bertemu dalam satu wadah yakni dunia maya. Siapa sangka, internet yang mulai dikenal saat ini dengan berbagai lapisan usia telah membawa Indonesia ke arah yang sangat terbuka dalam mendapatkan informasi.
Gejala yang ada dalam masyarakat pun mulai menunjukkan gejala-gejala dengan hadirnya internet tersebut, mungkin dulu kita akan begitu susah untuk mendapatkan koneksi internet, harus repot-repot ke warung interntet (warnet) atau pun mencabut kabel telepon untuk disambungkan ke komputer.
Fenomena Warung Kopi
Untuk melihat geliat dari maju penyediaan akses internet, tidak perlu jauh-jauh. Saya melihat fenomena ini sebagian besar ada di ujung pulau Sumatera, apalagi kalau bukan Aceh. Serambi Mekkah yang terkenal dengan sebutannya, kini juga mendapat julukan baru dengan negeri seribu satu warung kopi (warkop), hampir dapat dipastikan disetiap pelosok desa bahkan sampai ke kota jika kita melintas jalur darat melewati Medan, hampir tidak ada setiap pinggir ruas jalan raya pasti terdapat warung kopi.
Menariknya, dikota-kota seperti Banda Aceh yang menjadi ibukota provinsi adalah pusat dari warkop ini. Muncul warkop setelah tragedi Tsunami tahun 2004 silam, kian menjamur dimana-mana. Memang, balutan untuk warkop ini dikemas dalam bentuk istilah modern dengan nama sebutan cafe, namun intinya bagi masyarakat Aceh ini tetap dikenal dengan warkop.
Sebelumnya, sekitar tahun 2006, Aceh pernah didengungkan untuk dijadikan sebagai cyber province pertama di Indonesia. Namun, entah mengapa pengadaan infrastruktur itu selalu tidak berjalan sebagaimana gaung yang beredar, walaupun banyak media yang memuat tulisan yang bertajuk cyber province hanya seputar wacana dan wacana.
Semenjak berjamur warkop inilah sekitar akhir-akhir tahun 2008, disetiap sudut kota Banda Aceh, secara tidak langsung mulai merambah dengan berbagai jaringan-jaringan nirkabel (wireless) disudut-sudut warkop. Secara tidak langsung, ini adalah teknik pemilik warkop dalam menarik pelanggannya yang rata-rata digandrungi oleh anak-anak muda dan bapak setengah baya agar tetap menjadi tempat favorit mereka sebagai tempat nongkrong.
Dari sebuah pola atau cara promosi menarik ini dari pemilik warkop-warkop tersebut, bisa kita lihat bahwa usaha kecil sekelas warkop/cafe setidaknya telah meng-online-kan masyarakat awam atau kota untuk bisa menikmati kecanggihan sebuah teknologi informasi yang akan tetap terus berkembang. Selebihnya tentang penggunaan internet itu sendiri, tetap sepenuhnya berada di tangan para penikmatnya, diantara dua mata pisau, itulah internet yang ada sekarang ini.