[caption id="" align="alignleft" width="285" caption="Anak-anak sedang bermain Beude Tring/Sumber: bangsa-loen.blogspot.com"][/caption] PERANG akan selalu identik dengan lawan, tapi yang ini beda dan bahkan lawannya pun hanya sebuah suara. Ya, itulah suara dentuman keras yang bisa melebih dari sebuah suara granat nenas yang bisa membuat sebuah rumah hancur berkeping. Beude Trieng (bahasa Aceh) atau ada juga yang menyebut dengan Bude Trieng yang artinya adalah meriam bambu, beude trieng (meriam bambu) merupakan sejenis permainan yang mengandalkan suara dentuman. Bukan meriam untuk melawan musuh yang menyerang, bukan pula lemparan bom yang bisa melumpuhkan lawan. Inilah sebuah permainan yang sering dilakoni oleh anak-anak dulu, hampir disetiap menyambut Ramadhan dan juga menjelang lebaran permainan seperti ini kerap digandrungi oleh anak-anak yang berada dikampung-kampung. Kenapa di kampung? memang anak-anak dikampung untuk bermain lebih leluasa dibandingkan anak-anak di kota, terlebih area permainan yang luas dan tidak dekat dengan rumah warga, beda dengan di kota yang kepadatan warganya membuat lahan kosong jarang ditemui. Namun, apa yang terjadi sekarang dengan permainan beude trieng ini juga sering mengambil banyak perhatian warga dikampung-kampung. Bahkan media lokal seperti Serambi Indonesia sempat mengangkat berita 'perang meriam' secara berturut-turut seperti yang terjadi di Pidie ("Perang" Usai, Warga Bisa Tidur Nyenyak dan Perang Meriam Bambu Ditunda). Ada Yang Beda Jika melihat permainan dulu sering dimanfaatkan oleh anak-anak, sekarang juga sering dikerjakan oleh orang-orang dewasa. Mungkin banyak orang sekarang yang tidak tahu bahwa peristiwa 'perang meriam' ini sudah ada sebelum konflik melanda Aceh. Lebih dari 32 tahun konflik berlalu, jangankan untuk bermain seperti itu, keluar rumah saja membuat warga takut. Apalagi harus bermain dengan yang namanya suara keras dentuman seperti beude trieng itu, jelas akan sangat membuat repot warga, malah bisa-bisa 'disekolahkan' oleh orang tak dikenal. Kembali pada buede trieng lagi, di Aceh sendiri permainan ini ada diberbagai kabupaten seperti di Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Gayo dan juga sampai ke daerah barat seperti di Meulaboh sana. Tentunya kegiatan perang suara meriam ini hanya ada dikampung-kampung tertentu saja, tidak semua kampung/desa ikut ambil bagian. Ada dua hal yang membedakan amunisi dari buede trieng sekarang ini, yakni dulu hanya mengandalkan minyak lampu sebagai pemompa suara dentuman, namun sekarang sudah menggunakan karbit (termasuk jenis bahan kimia untuk membuatkan bom). Kalau dulu ruas bambu yang digunakan oleh anak-anak hanya sepanjang 1 atau 2 meter tanpa dimodifikasi lagi, apa yang kita lihat sekarang adalah bambu yang sudah dimodifikasi dengan lubang-lubang besar menyerupai tiang-tiang listrik yang berdiri dipinggir jalan (lebih besar). Fakta lainnya tentang buede trieng adalah suara ledakannya yang bisa membuat mobil-mobil yang menggunakan alarm bisa berbunyi, disebabkan getaran yang bisa mencapai jarak radius 5 kilometer. Apapun yang menjadi permainan rakyat ini, tentunya ada kekurangan. Salah satunya membuat warga harus mengungsi seperti yang pernah dilansir pada berita di atas, selain itu juga membakar karbit (relatif murah) hampir sama juga seperti membakar mercon (sama-sama membakar duit). Inilah permainan yang kini sudah kembali meriah dikala suasana lebaran di Aceh, walaupun sebagian orang telah menganggap sebagai tontonan rakyat dan rela pergi jauh-jauh untuk menyaksikannya.[] ~Selamat berlebaran kompasianers!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H