[caption id="attachment_183417" align="alignleft" width="304" caption="Pramoedya Ananta Toer. Foto: id.wikipedia.org"][/caption] BAGI sebagian besar penulis tentu sudah mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang terkenal lewat novel "Tetralogi Buru" yang membuat dia menjadi sosok yang penuh dengan sejarah dari jamannya Soekarno sampai rezim Orde Baru yang menyentuh perasaannya sebagai orang yang "terasing di negeri sendiri". Kata-kata "terasing di negeri sendiri" menjadi sebuah gambaran atas hidupnya setelah mencapai masa tua yang tidak bisa menulis lagi. Seorang penulis asal Amerika Andre Vltchek dibantu dengan Rossie Indira berhasil mengajak Pram, sapaan akrab bagi Pramoedya untuk bertanya jawab dalam sebuah buku yang berjudul "Saya Terbakar Amarah Sendirian!". Dari buku setebal 131 halaman tersebut, banyak kisah yang paparkan Bung Pram mengenai hidupnya untuk bangsa Indonesia, mulai dari membela negara sampai evolusi sebuah negara. Namun, bagi saya yang menarik dari buku yang membawa versi Tanya Jawab tersebut ketika Bung Pram berbicara masalah Jawanisme serta konflik Indonesia dari Aceh, Papua sampai Timur Timor. Sejatinya seorang sastrawan yang sempat mendekam dipenjara dan juga pernah dicekal oleh Pemerintah Orde Baru--Soeharto--lebih kurang selama 30 tahun, akhirnya membeberkan semua isi pikirannya yang "Pramisme" (satu aliran yang Bung Pram pegang selama hidupnya) melalui kata-katanya yang lantang. Menariknya ketika keterkaitan budaya dilekatkan pada seorang pemimpin bangsa, Bung Pram malah memberikan sebuah aba-aba tersendiri, bahwa semenjak jatuhnya Soekarno dari puncak pemerintahannya, sampai berada ditangan Soeharto, bangsa Indonesia mengalami pembusukan. Hal ini juga diperkuat setelah peristiwa tahun 1965 yang menghabiskan 2 juta penduduk di Indonesia secara brutal tanpa ada hukum yang jelas. Pengaruh Jawanisme Andre bersama Rossie berkali-kali menanyakan perihal apa itu Jawanisme pada Bung Pram, dan akhirnya mereka menemukan makna dibalik istilah yang dibuatnya itu. Jawanisme menurut Bung Pram adalah taat dan setia kepada atasan yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme. Budaya itu tumbuh subur dan berkembang pada masa Soeharto bahkan sudah tersebar keberbagai pelosok negeri ini. Bung Pram pun memberikan sebuah contoh masa lalunya saat masa penjajahan Jepang. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka mengerti betul mentalitas bangsa Indonesia. Mereka memanfaatkan kepada desa untuk diperintah, tetapi Jepang tidak pernah mengambil otoritas atas perintah tersebut. Lalu, singkat ceritanya kepala desa mengirimkan berbagai bantuan tenaga kerja paksa (romusha) untuk bekerja bagi Jepang. Banyak pekerja yang mati sewaktu bekerja paksa atau pun mereka tidak bisa pulang lagi ke kampung halamannya. Tetap orang masih saja nurut sama kepala desanya tanpa mau membantah dan melawan. Dan mereka para kepala desa menerima sogokan dari tentara Jepang. Dan masih banyak contoh lain yang dilihat dan dirasakan Bung Pram dengan budaya Jawanisme ini, lebih baik anda baca saja link buku di atas. Saat Andre berbicara masalah budaya Indonesia, Bung Pram menolak kalau Indonesia kaya budaya. Menurutnya waktu itu, budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir. Yang ada sekarang hanya budaya lokal dan daerah saja. Jadi, apa yang bisa dinamakan kebudayaan Indonesia? memang ada sastra Indonesia, karena itu ditulis dalam bahasa Indonesia, selebihnya tidak ada. Yang ada hanya beberapa bentuk kebudayaan daerah, seperti tarian Bali, cerita lokal daerah terutama Aceh. Dan bagi Bung Pram itu tidak bisa disebut kebudayaan. Begitulah ucap Bung Pram ketika disinggung tentang budaya bangsanya. Belajar dari orang Aceh Disaat bangsa ini mengalami pembusukan Bung Pram malah menyimpan sebuah kekagumannya pada sebuah daerah di ujung Sumatera sana. Andre juga sempat menanyakan hal tersebut kepada Bung Pram, memang Bung Pram mengakui tidak semua bagian Indonesia berada dalam proses pembusukan, Aceh menjadi pengeculiannya. Ketika Indonesia sudah dijajah selama 200 tahun, Aceh masih saja melakukan perlawanan terhadap mereka yang mencoba ingin menjajah mereka (baca: rakyat Aceh). "Mereka punya individualitas yang tinggi," tegas bung Pram. Untuk menaklukkan Aceh, Belanda mengirimkan pembunuh-pembunuh bayaran dari Jawa, dan hal ini diteruskan sampai sekarang. Hal ini terlihat dari kasus pasca 1965 yang menjadi kelanjutan teror sampai merembet ke Papua, Aceh, Ambon dan juga Solo. Seharusnya orang Indonesia belajar dari orang Aceh, terutama spirit individualitasnya. Orang Aceh itu sangat berani dan mereka diajarkan untuk menjadi seperti itu oleh keluarganya. Bahkan perempuan juga ikut berjuang di Aceh. Pada masa penjajahan Belanda, seorang penduduk Aceh masuk ke dalam markas Belanda dan menghancurkannya. Hal demikian tidak mungkin terjadi di Jawa. Bung Pram pun tidak yakin penyelesaian konflik Timor Timur dan Aceh dapat disamakan. Karena apa yang terjadi di antara dua daerah ini adalah gerilya dengan model yang berbeda-beda. Apa yang terjadi di Timor Timur atau yang sekarang disebut Timor Leste merupakan sebuah invasi. Padahal jelas sekali saat Bung Karno memimpin Indonesia, menolak usulan untuk masuk ke daerah Timor Timur, karena menurutnya Indonesia adalah sekelompok pulau yang dulunya dijajah oleh Belanda, sedangkan Timur Timor dijajah oleh Portugis, tapi apa daya di mata Soeharto melihatnya sebagai wilayah yang lemah dan tidak akan bisa melawan serta mudah untuk diambil alih (masuk ke dalam NKRI). Bahkan, Bung Pram sempat ketawa saat seorang perwira yang berkunjung ke kamp di Buru dengan sombongnya mengeluarkan kata, "bahwa untuk menaklukkan Timor Timur cukup dalam waktu dua jam saja". Padahal kenyataan, perang yang terjad di Timor Timur berlangsung bertahun-tahun dan kita (baca: Indonesia) kalah! Inilah 'segelintir' kisah yang bisa saya petik lewat buku perbincangan Pramoedya Ananta Toer bersama Andre Vltchek dan dengan Rossie Indira dalam Tanya Jawab tersebut. Masih banyak kisah menarik lainnya, dalam buku yang membawa pembacanya larut dalam pengalaman sastrawan Indonesia terkemuka ini. Dan tidak mungkin saya menulis lebih panjang lagi, tentu akan membosankan anda untuk membacanya. Lebih lanjut bisa membaca sendiri pada link yang saya cantumkan di atas. "Karena buku tersebut cocok dibaca oleh semua kalangan yang ingin memahami akar-akar persoalan di Indonesia dewasa ini," tulis Andre dihalaman belakang buku ini. Tahukan anda, bahwa dulu Papua disebut dengan Irian, tapi ketika Gus Dur berkuasa, dia ubah menjadi Papua. Singkatan Irian itu sebenarnya "Ini Republik Indonesia Anti-Nederland".[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H