"Kontroversi" Kapolri Tersangka
Oleh Habsul Nurhadi
(Dimuat pada Harian RADAR BEKASI, Bekasi, Senin 2 Februari 2015, Halaman 3)
Meskipun kisah "kontroversi Kapolri Tersangka" ini telah bergulir lebih dari dua pekan, namun hingga kini masih tetap marak menjadi bahan diskusi hangat di berbagai tempat, antara dibatalkan atau tetap dilantik.
Komjen Pol BG pada 13 Januari 2015 telah ditetapkan sebagai Tersangka Tindak Pidana Korupsi oleh KPK, namun Rapat Paripurna DPR-RI pada Kamis 15 Januari 2015 tetap menyetujui Budi Gunawan tersebut sebagai Calon Kapolri. Kejadian ini tentu menjadi peristiwa menarik bagi kondisi penegakan hukum di Indonesia.
Selama ini "stempel tersangka" yang disematkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada seseorang seringkali menjadi "penyandera" atau semacam "penghalang" tersendiri bagi orang tersebut untuk melangkah maju sebagai pejabat publik. Seandainya jabatan publik tersebut tidak berhubungan langsung dengan urusan penegakan hukum, maka persoalannya tidak terlalu mencolok. Namun jika jabatan publik tersebut adalah Kepala POLRI, maka tentu akan mendapat reaksi dan sorotan keras dari masyarakat.
Kontroversial
Bermula pada Jum'at9 Januari 2015 Presiden Joko Widodo mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Calon Tunggal Kapolri untuk dimintakan persetujuan DPR. Untuk itu, Pimpinan DPR segera menugaskan Komisi III DPR untuk menindak-lanjutinya dengan mengadakan Fit and Proper Test kepada calon yang bersangkutan.
Tiba-tiba, pada Selasa 13 Januari 2015 KPK menetapkan Komjen Pol BG sebagai tersangka tindak pidana korupsi terkait kasus penerimaan hadiah dan janji, yang disangkakan melanggar Pasal 12 atau 12b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP, dengan ancaman hukuman pidana paling lama 20 tahun.
Tentu saja penetapan Komjen Pol BG sebagai tersangka oleh KPK ini sangat mengagetkan berbagai pihak, mengingat Komisi III DPR sudah mengagendakan acara Fit and Proper Test kepadanya pada Rabu 14 Januari 2015. Segera muncul polemik waktu itu, apakah proses Fit and Proper Test tetap dilanjutkan atau langsung dibatalkan. Kemudian Komisi III bersepakat, jika Presiden menarik pengajuan Komjen Pol BG ini maka proses Fit and Proper Test dihentikan, namun jika Presiden tidak membatalkannya maka proses tetap dilanjutkan.
Ternyata Presiden tidak membatalkan pengajuan Komjen Pol Budi Gunawan ini sebagai Calon Tunggal Kapolri. Maka Komisi III DPR pun tetap melakukan Fit and Proper Test sesuai jadwal, dan hasilnya Komjen Pol Budi Gunawan tersebut dinyatakan cukup fit dan proper untuk menjabat Kapolri. Kemudian Rapat Parpurna DPR pada Kamis 15 Januari 2015 pun menyetujui hasil keputusan Komisi III DPR tersebut. Hasil keputusan Rapat Paripurna DPR tersebut pun langsung diserahkan kepada Presiden, untuk ditindak-lanjuti.
Persoalannya, muncul pula berbagai aspirasi masyarakat untuk menolak pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri baru, dengan berbagai alasan pendukung. Misalnya, bagaimana mungkin seorang tersangka tindak pidana akan menjabat Kapolri, yang nantinya juga mempunyai kewenangan menjadikan seseorang sebagai tersangka tindak pidana. Ibaratnya, bagaimana mungkin mampu membersihkan ruangan jika digunakan sapu kotor. Belum lagi, alasan kekhawatiran kepolisian di dunia internasional yang tidak akan percaya dan bersedia bekerjasama lagi dengan Kepolisian Negara RI manakala Kapolrinya seorang tersangka tindak pidana, yang statusnya juga "dicekal" dan tidak diperbolehkan bepergian ke luar negeri.
Selain itu, dimana kewibawaan seorang Kepala POLRI, apabila nantinya di tengah kesibukan tugas kenegaraannya ia terpaksa harus memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa, rumahnya digeledah, bahkan perkaranya sewaktu-waktu bisa disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi.
Kalkulasi Untung-Rugi
Seyogyanya Presiden Jokowi mempertimbangkan semua aspirasi yang ada. Selain mempertimbangkan aspirasi segelintirelite pimpinan parpol yang meminta agar Budi Gunawan diangkat sebagai Kapolri baru, harusnya Presiden juga mempertimbangkan desakan aspirasi berbagai kalangan masyarakat luas yang menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri. Ibarat main catur, Presiden harus mengkalkulasi segi "untung-rugi" atau "manfaat-madharat" dari setiap langkah yang diambil.
Bisa saja Presiden menyusuli surat ke DPR, menyatakan bahwa berhubung Budi Gunawan ternyata kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, maka Presiden memandang perlu untuk membatalkan pencalonan Budi Gunawan dan menggantinya dengan calon lainnya. Bisa pula Presiden Jokowi tetap melantik Budi Gunawan, namun pada hari yang sama segera memberhentikannya, dan digantikan oleh Wakapolri sebagai Pejabat Sementara. Atau Presiden perlu meminta kerelaan Budi Gunawan untuk mengundurkan diri sebagai Calon Kapolri, agar kerumitan persoalannya tidak terlalu berlarut-larut.
Memang, setiap langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi pasti akan mempunyai dampak "puji dan caci", dan itu menjadi konsekuensi logis seorang Presiden, karena suatu kebijakannya tidak akan mungkin mampu memuaskan 100 persen warga masyarakatnya. Idealnya, Presiden Jokowi pada awalnya tidak mengusulkan Komjen Pol Budi Gunawan, lantaran namanya pernah mendapat "stabilo merah" dari KPK, apalagi perwira tinggi POLRI yang pantas diusulkan sebagai Calon Kapolri sebenarnya bukan hanya Budi Gunawan seorang.
Tetapi itulah problematika seorang Presiden Jokowi. Ibarat main catur, jika tak mau pusing memikirkan langkah-langkah bidaknya yang berpotensi membuat langkah "blunder", maka baiknya tidak usah bermain catur. Atau jika tetap ingin bermain catur, bersiaplah untuk berpusing-pusing menemukan solusi paling jitu manakala sudah terlanjur membuat langkah "blunder".
Bekasi, 1 Februari 2015
Penulis adalah Wartawan Sertifikasi Kompeten Utama Dewan Pers 1513, tinggal di Kota Bekasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H