Hembusan angin dingin membuatku terbangun dari tidur, kemudian kutekuk kaki mendekati dada (orang menyebutnya tidur pistol) untuk mengusir dingin. Namun, itu tidak cukup karena warna jingga dilangit membuat pikiranku berkata bahwa sekarang sudah pagi. Lalu kuangkat sarung ku ke bahu untuk berdiri dan berjalan kedepan rumah yang telah tersedia baskom untuk menampung air hujan yang turun pada subuh tadi. Kuambil satu gayung air itu lalu kubasuh mukaku yang sudah dipenuhi oleh minyak yang dihasilkan oleh kulitku pada waktu tidurku tadi. Sayapun duduk di depan serambi rumah memandangi kondisi tanah yang telah basah setelah diguyuri hujan semalam. Tidak lama kemudian, suara anak perempuan yang berumur sekitar 6 tahun memanggil pembeli untuk membeli duri-durian yang dijualnya. Duri-durian merupakan kue yang terbuat dari tepung dan mempunyai isi dalam yang terbuat dari parutan kelapa dicampur dengan gula merah. Biasalah penjual seperti itu muncul pada pagi hari, untuk mengganjal perut yang agak keroncongan pada waktu bangun tidur. Tidak lama kemudian, sesosok badan kekar, dengan warna kulit gelap karena setiap hari selalu bertempur dengan sengatan matahari dilaut untuk menyambung hidup bersama keluarganya keluar hanya mengenakan sarung yang diikatkan pada pinggangnya. Berjalan menyelusuri rumahnya untuk masuk kedalam sebuah tempat yang terbuat dari bambu dan beratapkan rumbiah. Selama lima menit berselang dia keluar membawa jaring yang dipegangnya dengan menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menggemgam dayung yang sudah agakusang. Lalu dia masuk kedalam kolom rumahnya dan tak lama kemudian dia keluar dengan mengenakan pakaian lengan panjang dan sebuah training. Dia bergegas berjalan menuju samping rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter. Disana telah menunggu sebuah perahu kecil yang mempunyai lebar sekitar 60 cm dan panjang sekitar 5 meter dengan bentuk bagian bawahnya datar ditambah dengan mesin tempel (jalepa). Diapun mengambil sebuah bambu kecil dengan diameter sekitar 5 cm dengan panjang sekitar 4 meter (tokong). Diapun mendorong perahunya dengan menggunakan tokong tersebut menuju perairan lepas. Lalu tidak lama kemudian dia menyalakan mesin tempelnya dan tak lama jalepanya sudah bergerak menjauh dari bibir pantai. Sekitar satu jam pria itu meninggalkan bibir pantai, diapun datang dengan seluruh pakaian yang sudah basah serta jaring yang tersimpan dalam jalepanya. Terlihat anak kecil dan seorang perempuan menghampirinya. Sang anak tanpa diperintah lalu mengambil tali yang ada pada jelapa kemuda mengaitkannya pada sebuah batang kayu yang disiapkan sebagai tambatan jelapanya. Pria itu turun dan sambil mengangkat jaringnya, dalam jaring tersebut terdapat beberapa ekor kepiting, cumi, dan ikan. Mereka lalu mengambil hasil tangkapan itu lalu memasukkannya dalam baskom yang telah lama disiapkan oleh perempuan itu. Ikan dan cumi mengisi baskom sedangkan kepiting masih masih harus di ikat capitnya untuk menjaga agar tidak menjepit tangan orang lain. Setelah seluruh hasil tangkapannya siap, perempuan itu bergegas meninggalkan perahu lalu menuju sebuah rumah yang kolong rumahnya terdapat sebuah timbangan. Diapun menaruh seluruh hasil tangkapan itu lalu seorang lelaki tua menimbangnya dengan cermat. Setelahnya itu lelaki tua itu mengeluarkan beberapa lembar uang (IDR) dan diserahkan kepada perempuan itu. Lalu peremnpuan itu meninggalkan kolong rumah tersebut menuju rumahnya. Sampai dirumahnya perempuan tersebut mengambil kayu bakar dan menyulutnya dengan api, ternyata dalam baskom itu masih ada beberapa ekor hasil tangkapan yang tidak dijual kepada lelaki tua tadi. Dengan telitinya perempuan itu mengambil sebuah pisau lalu mengiris ikan dan cumi tersebut, setelah bersih perempuan itu mengambil air untuk mencuci hasil tangkapan yang telah di irisnya tadi. Tak lama kemudian hasil tangkapan itu sudah berada diatas pemanggangan menunggu nasipnya menjadi matang. Setelah matang hasil tangkapan itu dia masukkan kedalam piring lalu naik kerumhanya menggunakan tangga yang sudah tersedia di samping rumahnya. Lalu mengambil panci yang beri dengan nasi yang telah ditanaknya pada malam hari. Lalu lelaki dan anak kecil yang berada di bibir pantai tersebut dipanggilnya, mereka kemudian duduk bertiga dengan piring yang sudah berada dihadapan masing-masing. Mereka bertiga makan dengan lahapnya sambil terlihat cerita kecil dan senyum kecil yang menghiasi wajah mereka. Inilah gambaran kehidupan pagi hari mayoritas penduduk Dusun Ujung Tanah Desa Tompo tana yang ada di Kepulauan Tanakeke Takalar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H