Mohon tunggu...
Habib Noor Diansah
Habib Noor Diansah Mohon Tunggu... tukang las -

hanya menulis untuk pengganti obat sakit kepala

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Api, Besi, dan Ekonomi

11 Februari 2019   22:22 Diperbarui: 11 Februari 2019   22:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panasnya api tak sepanas suara mulut istri. Yapp mungkin itu sedikit gambaran isi perasaan seorang tukang las. Agar dapur terus mengebul, bercanda dengan api dan besi adalah solusi. Menjalani profesi sebagai tukang las bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, baik dari segi mental, maupun segi pemikiran. Selain risiko kecelakan kerja tinggi, tukang las juga harus mempunyai kreatifitas tinggi.

Pemandangan gedung-gedung tinggi dan perumahan elite yang memanjakan mata, tidaklah bisa lepas dari campur tangan seorang seniman api. Foto capres, cawapres dan caleg yang terpampang di pinggir jalan tidak akan terlihat gagah, tanpa seorang tukang las yang rela menumbalkan rasa takutnya pada ketinggian. Bahkan sebagian bisnis UKM di kalangan masyarakat kecil, tidak luput dari jasa dari seorang yang menyetok parfum cukup banyak ini, karena untuk mengelabui aroma besi yang menempel di badannya.

Tukang sablon yang membutuhkan meja sablonnya, pedagang siomay yang membutuhakan grobaknya, dan toko yang membutuhkan papan iklannya, adalah sedikit contoh dari hasil karya tukang las. Pembuatan sebuah karya tukang las tidak lah seperti membuat mie instan. Agar hasil karyanya indah dipandang mata, dibutuhkan ketelitan dan pemahaman tentang sifat besi yang akan disambungnya. Sudah sewajarnya jika tukang las sering memamerkan hasil pencapainya di media sosial. Bukan karena sombong, tapi bisa menghasilkan karya yang indah adalah kepuasan batin tersendiri, yaaa walaupun malam harinya juga mendapatkan dari istrinya. Wkwkwk

Mohon maaf jika isi dari tulisan ini hanya mengenai keunggulan tukang las. Disini (penulis) hanya ingin mengajak melihat sudut pandang lain dari seorang tukang las. profesi tukang las yang identik dengan tempat kotor, menguras fisik, risiko kecelakan tinggi dan gaji yang tidak terlalu besar, adalah penilaian di mata sebagian besar kalangan masyarakat. Jika mengingat waktu kecil, ketika seorang murid ditanya gurunya tentang apa cita-citanya, tidaklah ada yang menjawab ingin menjadi tukang las. Sebagai orang tua pun tidak menginginkan anaknya berkarir menjadi tukang las. Padahal pekerjaan in sebenarnya lebih mulia dari pada artis yang hanya mencari uang dari memamerkan bentuk tubuhnya. Semoga saja kedepannya pemerintah lebi memperhatikan hak-hak para tukang las.

Rencana Tuhan memang lebih indah. Sudah terbukit Tuhan menciptakan manusia penyambung besi, dengan gagah melawan panasnya api agar tersambungnya ekonomi dan hasilnya untuk dinikmati para penghuni semesta ini.

Terlalu banyaknya sisi positif dan penderitaan dari tukang las, sampai pemikran tidak masuk akal pun pernah terlintas. Hidup di dunia saja sudah sering bergelutan dengan hawa panas, masak iya Tuhan sejahat itu, tidak memberikan hawa dingin di akhirat kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun