Indonesia adalah bangsa yang besar, Indonesia adalah bangsa yang sanggup mengusir sendiri penjajah nya tentunya hal ini menjadi prestasi yang luar biasa bagi bang Indonesia, dan di wilayah asia tenggara tidaklah berlebihan rasanya jika kita menyebut bahwa negara adidaya baru asia tenggara tela lahir, Indonesia dengan segala kondisi sosial dan politik nya, memaksa bangsa yang baru saja merdeka itu untuk terus bertahan dalam segala kondisi yang mengikuti perubahan zaman. Tahun 1950-an adalah zaman waktu politik Indonesia paling terbuka dan paling jelas berakar dalam masyarakat, masa ini menghasilkan pemilu satu-satunya yang benar-benar bebas yang pernah dialami oleh negara ini, dan menyaksikan sebuah wacana yang luas cakupannya mengenai bagaimana seharusnya negara ini.Â
Meskipun pada tahun itu kebebasan berpolitik dan memberikan gagasan di buka selebar lebarnya bukan berarti semua nya berjalan dengan baik sebagaimana yang di harapkan, sebaliknya dampak dari kebebesan itu juga menyentuh aspek lainya dalam kondisi negara Indonesia pada waktu itu dan tentunya itu sangat berbahaya bagi bangsa kita Indonesia, kesenjangan ekonomi terjadi luar biasa dan sangat menguji kualitas negara Indonesia yang belum lama merdeka itu, tetapi meskipun terdapat kesenjangan ekonomi dan ketimpangan politik antara Jawa dan daerah-daerah di luar Jawa, hampir tidak ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hanya di Maluku Selatan terdapat suatu gerakan yang ingin melepaskan diri dari Republik, sedangkan pemberontakan pemberontakan daerah lainnya, seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta), bermaksud untuk menjatuhkan pemerintahan di Jakarta, bukan untuk mendirikan negara yang terpisah. Pemberontakan-pemberontakan ini menarik kekuatannya terutama dari kelompok tertentu di dalam aparat militer. Sebenarnya pemberontakan pemberontakan ini lebih didorong oleh persaingan antarkelompok yang saling memperebutkan posisi kepemimpinan dalam Angkatan Darat daripada oleh kepentingan daerah. Bahkan para pemimpin sipil yang paling tidak setia pun tidak mau mengambil langkah yang mungkin akan memberikan mereka pengakuan dan bantuan asing yang amat mereka perlukan, yaitu memproklamasikan sebuah negara teritorial yang terpisah.Â
Pada tahun 1950-an, Indonesia mengalami tantangan ekonomi yang signifikan pasca-kemerdekaan. Perang Dunia II dan agresi militer Belanda meninggalkan dampak berat, termasuk infrastruktur yang hancur dan ketidakstabilan politik. Pemerintah Indonesia berjuang untuk membangun kembali ekonomi dan memperkuat kedaulatan nasional (Ricklefs, M.C. 1991). Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah pada masa itu tercermin dalam struktur politik yang tengah berkembang. Pemerintah pusat berusaha mengkonsolidasikan otoritasnya, tetapi tantangan otonomi daerah juga muncul. Kondisi ini tercermin dalam pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, yang mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan pusat dan daerah terkait pemanfaatan sumber daya alam (Booth, A. 2005).Â
Pada tahun 1950-an, kondisi ekonomi Indonesia masih mengalami tantangan yang serius. Pasca-kemerdekaan, negara ini harus menghadapi warisan perang dan ketidakpastian politik. Infrastruktur yang hancur dan berkurangnya investasi asing menghambat pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia pada masa itu berupaya untuk merespons situasi ini dengan meluncurkan berbagai program pembangunan ekonomi. Salah satunya adalah "Pelan Pembangunan Lima Tahun" yang dimulai pada tahun 1956. Program ini bertujuan untuk mengembangkan sektor-sektor kunci seperti pertanian, industri, dan infrastruktur.
Meskipun upaya tersebut dilakukan, tantangan besar tetap ada. Perekonomian Indonesia pada periode tersebut sangat tergantung pada sektor pertanian, dan kendala seperti distribusi tanah yang tidak merata menjadi masalah serius. Selain itu, ketidakstabilan politik turut mempengaruhi kebijakan ekonomi, walaupun pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an meluncurkan program-program pembangunan, kondisi ekonomi tetap rentan. Perekonomian yang terfokus pada sektor pertanian menghadapi berbagai masalah, seperti distribusi tanah yang tidak merata yang menghambat produktivitas. Upaya untuk mengatasi masalah ini melalui reforma agraria dan kebijakan redistribusi tanah tidak selalu berjalan mulus.
Selain itu, ketidakstabilan politik yang masih terasa setelah periode perang juga berdampak signifikan pada kebijakan ekonomi. Perubahan pemerintahan dan pergolakan politik sering kali mengganggu kelancaran implementasi kebijakan pembangunan ekonomi jangka panjang, dalam konteks ini, ekonomi Indonesia pada tahun 1950-an masih dihadapkan pada sejumlah kendala yang memerlukan solusi menyeluruh. Meskipun ada upaya untuk merespons tantangan tersebut, proses pembangunan ekonomi pada periode ini bersifat dinamis dan terus berkembang seiring waktu.
Dalam kesimpulannya, kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 1950-an mencerminkan periode transisi yang penuh tantangan pasca-kemerdekaan. Pemerintah berupaya membangun kembali ekonomi yang terpukul akibat perang dan agresi militer, namun kendala seperti distribusi tanah yang tidak merata dan ketidakstabilan politik tetap menjadi hambatan. Meskipun demikian, langkah-langkah menuju pembangunan ekonomi jangka panjang telah diambil dengan diluncurkannya program-program seperti "Pelan Pembangunan Lima Tahun" pada tahun 1956. Proses pembangunan ekonomi ini mencerminkan dinamika politik dan ekonomi yang terus berkembang sepanjang dekade tersebut (Habib Alhafidz Dkk).
REFRENCE:
Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1200. Macmillan Education.
Booth, A. (2005). Towards an Economic History of Indonesia. Brill.