Hari itu, Dirga duduk di meja belajar dengan tumpukan buku di sekelilingnya. Matanya berkeliaran antara catatan dan tugas Bahasa Indonesia yang belum selesai. Guru, Bu Len, sudah mengingatkan berkali-kali bahwa tugas harus dikumpulkan sebelum jam 12 siang. Namun, waktu seakan melarikan diri dari Dirga.
Pukul 11:30, ia baru menyadari bahwa tugas yang harusnya dikumpulkan sudah menunggu di atas meja dalam keadaan setengah jadi. Ia teringat semua waktu yang terbuang; menonton film, bermain game, dan bahkan sekadar berselancar di media sosial. Penyesalan mulai merayap masuk ke dalam hati.
Dengan cepat, Dirga meraih pulpen dan mulai menulis, tetapi ide-ide yang berputar di kepalanya tak kunjung terwujud di kertas. Tangannya mulai bergetar, dan ia merasakan tekanan waktu semakin mendesak. "Kalau saja aku lebih fokus," bisiknya pada diri sendiri.
Pukul 11:50, ia baru selesai menulis, tetapi halaman tugasnya terlihat berantakan. Tidak ada waktu untuk memperbaiki. Ia segera menyimpannya dalam amplop dan berlari menuju kampus. Napasnya tersengal-sengal saat ia berusaha mencapai kelas tepat waktu.
Setibanya di kampus, Dirga melihat jam dinding. "Sial, hanya tinggal 5 menit!" Ia berlari menembus kerumunan mahasiswa, melewati lorong-lorong yang penuh dengan obrolan dan tawa. Namun, setiap langkah terasa berat, seolah-olah waktu bersekongkol melawannya.
Sesampainya di kelas, ia terpaksa menghentikan langkahnya. Pintu sudah ditutup. Ia mengetuk dengan cepat, berharap Bu Len bisa memberinya sedikit keringanan. Setelah beberapa saat, Bu Len membuka pintu, melihat Dirga dengan napas tersengal dan raut wajah penuh harap.
"Bu, maafkan saya. Saya terlambat mengumpulkan tugas," ujarnya dengan suara putus asa.
"Maaf, Dirga. Sudah menjadi aturan. Tugas yang terlambat tidak akan diterima," jawab Bu Len tegas, meski ada sedikit rasa iba di matanya.
Hati Dirga hancur. Ia berbalik, merasakan ketidakadilan dan rasa malu yang menyelimutinya. Di dalam pikirannya, semua keputusan yang salah mengalir seperti aliran sungai yang tak terputus. Tugas yang seharusnya menjadi kesempatan untuk belajar malah berakhir di tangan takdir.
Hari-hari berikutnya, Dirga merasa terpuruk. Teman-temannya bercerita tentang pelajaran yang mereka dapat dari tugas itu, dan ia hanya bisa mendengar dengan perasaan kosong. Setiap kali mereka membahas hasil tugas, ia teringat akan penyesalannya.
Namun, dalam kegelapan itu, Dirga mulai berusaha memperbaiki kesalahan. Ia meminta izin kepada Bu Len untuk mengerjakan tugas meski sudah terlambat. Bu Len setuju, tetapi dengan syarat bahwa nilainya tidak akan setara dengan teman-temannya.