Mohon tunggu...
Habib Miftahul Ghofar
Habib Miftahul Ghofar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Reader and writer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perdata Islam di Indonesia

8 Maret 2024   19:28 Diperbarui: 8 Maret 2024   19:38 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum perdata di Indonesia memiliki peruntukan yang berbeda-beda untuk setiap golongan warga negara, yang tercermin dari keragaman budaya, adat istiadat, dan latar belakang etnis yang ada di negara ini.

Pertama, untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum adat yang sebagian besar belum tertulis. Hukum adat ini merupakan seperangkat norma-norma dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan secara inheren melekat dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun belum tertulis secara formal, hukum adat ini memiliki pengaruh yang kuat dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari perkawinan, waris, hingga penyelesaian konflik. Kedua, untuk golongan warga negara bukan asli Indonesia, berlaku hukum yang berbeda tergantung pada asal etnis dan latar belakang mereka. Bagi golongan ini, terutama yang berasal dari negara barat, berlaku hukum perdata yang didasarkan pada kitab undang-undang, seperti kitab hukum dagang. Ini mencakup aturan-aturan yang berlaku dalam konteks perdagangan dan bisnis. Ketiga, bagi golongan Asia Timur, kecenderungan penggunaan hukum perdata juga beragam. Sebagian mungkin mengadopsi hukum barat (WB) seperti golongan bukan asli Indonesia, sementara yang lain mungkin lebih memilih untuk menerapkan hukum dari negara asal mereka. Ini mencerminkan keragaman latar belakang budaya dan hukum di antara golongan Asia Timur. Namun, penting untuk dicatat bahwa penerapan hukum perdata tidaklah merata di seluruh wilayah Indonesia. Hukum yang berlaku bagi pribumi, atau bangsa Indonesia asli, dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya, tergantung pada tradisi adat, kebiasaan lokal, dan norma-norma yang berkembang di masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan keberagaman dalam sistem hukum perdata di Indonesia, yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan dinamika sosial masyarakat.

Prinsip Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sesuai dengan UU No 1 Tahun 1974, bukanlah sekadar ikatan fisik antara seorang pria dan seorang wanita. Ia adalah pertalian lahir dan batin yang disucikan oleh Tuhan, dengan tujuan utama membentuk keluarga yang bahagia dan abadi. Ini bukan sekadar persatuan dua individu, melainkan penandatanganan perjanjian suci di hadapan Allah untuk membangun rumah tangga yang penuh dengan kedamaian, cinta, dan kasih sayang. Ketika seseorang memasuki ikatan perkawinan, mereka tidak hanya berkomitmen untuk mengikuti ajaran-ajaran agama yang universal, tetapi juga untuk mematuhi hukum negara. Keduanya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum Allah dan hukum negara agar perkawinan mereka dianggap sah. Perkawinan bukanlah sekadar upacara formal, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju kebahagiaan keluarga. Ini adalah pondasi yang kokoh yang membangun hubungan yang langgeng dan mendalam antara suami dan istri. Dengan memahami pentingnya komitmen ini, mereka dapat bersama-sama menghadapi segala tantangan hidup dengan tekad dan kekuatan yang sama. Dalam kesucian ikatan perkawinan, terletak kekuatan yang menguatkan, cinta yang membara, dan harapan yang tak terbatas. Itulah mengapa perkawinan dianggap sebagai salah satu momen paling sakral dalam kehidupan manusia, karena di dalamnya terdapat janji kesetiaan, pengorbanan, dan cinta yang abadi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan beberapa prinsip-prinsip yang mendasari institusi perkawinan di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 

1. Ikatan Lahir Batin: Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ini menunjukkan bahwa perkawinan tidak hanya merupakan persatuan fisik, tetapi juga hubungan emosional dan spiritual yang mendalam antara dua individu. 

2. Tujuan Membentuk Keluarga: Tujuan utama dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan abadi. Ini menegaskan bahwa perkawinan bukan hanya tentang hubungan antara suami dan istri, tetapi juga tentang membangun lingkungan yang stabil dan harmonis bagi generasi mendatang. 

3. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa: Perkawinan di Indonesia diakui sebagai institusi yang didasarkan pada ajaran agama dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ini menegaskan pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam menjalani kehidupan berkeluarga. 

4. Kesesuaian dengan Hukum Negara: Perkawinan diakui sah jika telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum negara. Ini mencakup pemenuhan rukun dan syarat-syarat perkawinan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

5. Cita-cita Keluarga Sakinah: Perkawinan yang sah harus bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, yaitu keluarga yang penuh dengan ketenangan, kasih sayang, dan saling pengertian. 

Hal ini menekankan pentingnya membangun hubungan yang saling menghormati dan mendukung di antara anggota keluarga. Prinsip-prinsip ini membentuk landasan moral, spiritual, dan hukum bagi institusi perkawinan di Indonesia. Mereka menegaskan pentingnya komitmen, tanggung jawab, dan kesetiaan antara suami dan istri dalam menjalani kehidupan berkeluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun