Pagi itu, matahari di langit Jayawijaya bersinar cerah menerangi lembah. Kabut pagi membentuk formasi tidak biasa, terlihat menggoda di atas kota Wamena. Saya bersama lima orang teman akan mengadakan perjalanan untuk mengisi liburan, rencananya akan mengunjungi Telaga Biru yang terletak di Air Garam, di distrik sebalah. Jadi bisa dibayangkan jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami mengabdi, mungkin tidak sampai satu jam sudah sampai. Memang perjalanan liburan kami hanya seputar wilayah kabupaten Jayawijaya saja, sempat berpikir untuk ke Tiom, Karubaga, Kobakma atau tempat-tempat lain di beberapa kabupaten pemekaran. Tapi mengingat kesibukan di tempat pengabdian dan banyak hal lainnya, kami menghabiskan liburan dengan mengisi kegiatan bersama para santri di Walesi, seperti belajar berkebun dan lainnya. Atau mengunjungi rumah anak-anak di gunung-gunung, menikmati pemandangan kota Wamena dari ketinggian, bagi saya sudah cukup mengobati penat dan jenuh, sebut saja berwisata dengan cara sederhana. Memang selain Mumi dan perayaan Festival Lembah Baliem, di Wamena tidak banyak tujuan wisata khusus. Tapi dengan mengunjungi pasar-pasar tradisonal, berkeliling kampung, menikmati alam yang masih hijau, mengunjungi rumah-rumah adat dan bergaul dengan masyarakat lokal menjadi pengalaman wisata istimewa yang sangat berharga.
Kami berangkat setelah matahari perlahan meninggi, tak ada bekal apapun yang kami persiapkan, hanya kamera kecil yang biasa kami bawa dalam setiap perjalanan. Kami tidak tahu pasti dimana lokasi Telaga Biru, hanya mengandalkan informasi dari Opalek, salah satu siswa kelas 4 di Madrasah tempat kami mengabdi, yang sengaja kami ajak sebagai penunjuk jalan. Tiba di Hitigima, kami berhenti sebentar di longsoran bukit yang pernah dibuat sebagai salah satu lokasi film “Cinta Dari Wamena”, orang-orang yang melintasi jalan ini biasanya berhenti untuk sekedar mengambil gambar atau piknik dan lainnya. Perjalanan dilanjutkan, tidak lama kemudian, tiba-tiba disambut pemandangan yang menyejukkan mata. Kami berseru senang , terpukau mendapati lukisan alam di pedalaman jantung papua yang memesona. Ladang ubi yang luas, pegunungan berselimut kabut, dan buki-bukit terlihat dipenuhi rumput halus.Yang menarik adalah tebing hijau terlihat seperti dinding kokoh yang lebar seperti sengaja dibangun sebagai pagar, di bawahnya sungai baliem mengalir meliuk seperti ular. Di kejauhan, tampak juga bangunan Gereja dan perkampungan yang dipenuhi honai-honai. Kamera saku yang saya bawa tak henti menjadikan pemandangan sekitar sebagai objek yang mengagumkan. Rumah honai dengan atap menyentuh tanah, reruntuhan tiang-tiang menambah aura mistis. Belakangan kami tahu, tempat sejuk itu biasa disebut “Pintu Angin” oleh masyarakat lokal Wamena, masyarakat mempercai tempat itu sebagai pintu masuknya angin ke Lembah Baliem Wamena.
Setelah puas mengabadikan momen tidak sengaja menemukan pintu angin yang serasa Jendela Surga, kami melanjutkan perjalanan. Suasana mulai sepi, honai-honai semakin jarang terlihat. Hingga tiba di longsoran tanah yang lebih lebar, lebih tepatnya sungai yang membelah jalan. Ini menjadi tantangan, karena merupakan jalan satu-satunya yang harus kami lalui. Kami juga menjumpai anak-anak yang terlihat malu-malu, mereka terdengar berbisik dengan bahasa setempat dengan teman yang lainnya. Setelah berhasil melalui jalanan yang sekaligus sungai, ada beberapa gubuk kayu beratap ilalang yang terlihat seperti kios. Kami bertanya dimana Air Garam kepada seorang bapak yang menjaga kios sederhana itu. Bapak itu menjawab kalau Air Garam masih jauh, entah seberapa jauh lagi kami harus melanjutkan perjalanan.
[caption id="attachment_345936" align="alignnone" width="300" caption="Jalan kabupaten Jayawijaya-Yahukimo"][/caption]
Kami heran, bukankah kata orang-orang Air Garam dekat?, tak jauh ke timur Hitigima, tapi kenapa belum sampai juga?. Pagi sudah menjelang siang, kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan, mengingat rasa penasaran kami dengan telaga biru yang menurut cerita prang-orang begitu memukau. Beberapa minggu lagi kami akan meninggalkan wamena, pulang ke kampung halaman. Jadi ini merupakan kesempatan terakhir, harus sampai. Jalanan juga semakin sulit, berbatu dan lubang-lubang kecil memenuhi badan jalan. Hingga kami terkejut melihat papan nama sebuah sekolah di pinggir jalan,“SMA Negeri Kurima, Pemerintah Kabupaten Yahukimo”. Terkejut, kami saling berpandangan berbagai perasaan was-was dan cemas menghampiri. Bukan karena apa, kami tersesat. Ini Yahukimo, wilayah kabupaten lain disebelah timur kabupaten Jayawijaya. Yahukimo memang masih asing bagi kami, hanya tahu dari cerita-cerita para dokter yang bertugas di beberapa distrik di sana.
Sepanjang perjalanan mulai berbeda, pepohonan tinggi memagari jalan. Dibeberapa titik, tampak jemaat memenuhi halaman Gereja. Hingga samppai di Pos TNI distrik Kurima, kami merasa agak tenang, rupanya ada beberapa tentara orang pendatang di pos penjagaan.Yang menarik perhatian kami adalah gubuk tower, kedengarannya aneh, dan bagi kami memang aneh. Seorang tentara menjelaskan kalau disini listrik belum sampai dan sangat jarang untuk ada jaringan telepon seluler, apalagi internet. Gubuk tower adalah satu-satunya solusi, tempat pelarian bila ada yang harus berkomunikasi dengan dunia “luar”. Seperti ke Wamena atau kota-kota lain di Pegunungan Tengah Papua. Gubuk itu tak terlalu besar, di dindingnya dibuatkan tempat handphone yang terbuat dari kaleng-kaleng bekas. Biasanya, handphone diletakan di kaleng-kaleng bekas tersebut, bila beruntung kita akan mendapat signal dan bisa berkomunikasi dengan “dunia luar” meski jaringan tidak maksimal.
[caption id="attachment_345934" align="alignnone" width="300" caption="Penampakan bebera handphone di sudut Gubuk Tower"]
Kami beristerahat sebentar, bertanya kepada salah satu tentara bagaimana kiranya bila kami melanjutkan perjalanan. Mereka mempersilahkan, katanya “aman”. Belum jauh dari pos TNI Kurima, seorang berambut gimbal mencegat di tengah jalan, dia terlihat sedang mabuk. Sesuatu yang kami takutkan tentang isu-isu masalah keamanan, kelompok sipil bersenjata dan lainnya seperti yang kerap terjadi di Pegunungan Tengah Papua ini. Tapi untunglah, orang mabuk itu ‘hanya’ tukang palak yang biasa meminta uang, hal yang ‘biasa’ saya jumpai di Wamena.
Perjalanan terus berlanjut, Telaga Biru yang ingin kami kunjungi seperti semakin menjauh entah kemana. Hingga kami baru sadar kalau Air Garam yang dimaksud bapak-bapak yang kami temui di gubuk mirip kios itu masih jauh lagi, rupanya ada Air Garam lain yang termasuk wilayah kabupaten Yahukimo. Kami benar-benar berhenti saat tak ada jalan lagi, jalan buntu. Anak-anak di kampung setempat menceritakan bahwa kalau mau ke Air Garam masih sangat jauh, mereka katanya juga belum pernah kesana. Kami hanya bisa tertawa saling berpandangan saat menyadari suatu hal, tentang perjalanan berjam-jam yang telah kami laluimerupakan kebanggaan tersendiri. Karena, orang-orang dari Wamena yang akan ke Kurima atau distrik lain di kabupaten Yahukimo biasanya harus mencharter pesawat. Tapi kami tidak, justru dengan menggunakan motor dan bermodal kenekatan.
[caption id="attachment_345938" align="alignnone" width="300" caption="Jalan buntu di Yahukimo"]
Matahari sudah di atas kepala, kami memutuskan untuk kembali pulang. Membawa oleh-oleh kenangan tak terlupakan dari perjalanan tersesat yang menyenangkan. Sebelumnya, kami menyempatkan mengunjungi jembatan gantung dekat sebuah kampung, meski hanya sebentar karena ada upacara adat kematian. Ada pemandangan aneh yang kami lihat disana, beberapa bule ikut mengiring jenazah di belakangnya.
[caption id="attachment_345942" align="alignnone" width="300" caption="Jembatan gantung di Kurima"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H