Besok, hari dilaksanakannya Pemilu 2024. Hari yang sangat krusial bagi seluruh masyarakat Indonesia, untuk menentukan siapa yang kelak menjadi pemimpin bangsa.
Jauh sebelum hari esok, banyak konten yang beredar di media sosial terkait paslon 01, 02, maupun 03. Dalam setiap kontennya, kreator seolah-olah ingin mengisyaratkan bahwa paslon pilihannya yang lebih baik, atau justru, menjatuhkan paslon lain dengan kalimat "paslon A dikhianati paslon B", dan sebagainya. Tak lupa, prestasi yang telah diraih paslon pilihannya pun dijelaskan begitu banyak dalam konten yang beredar.
Sampai hari ini, konten-konten tersebut masih beredar seolah tak ada kata henti. Menjadi video harian yang wajib disantap setiap saat. Namun, jika selama ini kamu mengira bahwa para kreator adalah sukerala, sepertinya kamu salah besar.
Mungkin iya, bahwa sebagian di antaranya adalah sukarela. Tapi kita tidak dapat menyangkal, bahwa banyak di antaranya juga yang upload video tersebut karena dibayar, alias karena mereka adalah buzzer.
Seorang temanku adalah selebgram dengan followers sekian ribu. Dalam status WhatsApp-nya pada suatu hari, ia menceritakan bahwa ia ditawari menjadi buzzer pemilu dengan iming-iming sejumlah uang. Bahkan, tak hanya bercerita, tapi ia juga membagikan screenshot chat tawaran tersebut bersama jumlah uang yang dijanjikan. Untungnya, ia tidak mengiyakan tawaran tersebut.
Selain itu, pada suatu portal berita, saya membaca pengakuan Abdur Arsyad yang ditawari menjadi buzzer paslon tertentu dengan tawaran uang sebesar 2 miliar rupiah. Namun, Abdur menolak tawarannya karena telah memilih paslon lain yang menjadi pilihan nuraninya.
Dari sini, mestinya kita tersadarkan, bahwa kita semestinya mendukung paslon tidak hanya karena citranya di media sosial yang dibuat baik oleh para kreator. Sudah tak asing bukan, konten atau video tersebut? Padahal, seperti halnya berita lain, berita tentang pemilu di media sosial pun bisa saja ternyata hoax, terlebih jika kita mendapatkannya dari akun yang menonjolkan keberpihakannya.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita mencari tahu rekam jejak para paslon dari pihak yang jelas netral. Channel YouTube Narasi, misalnya. Atau, website bijakmemilih.id yang menjelaskan secara detail rekam jejak para paslon, prestasi, hingga argumen yang diberikan setiap paslon dalam beberapa kali debat kemarin.
Hal tersebut jauh lebih baik dibanding kita mendukung paslon tertentu hanya karena tergiring opini atau merasa terikat emosional akibat konten-konten buzzer pemilu di media sosial. Jangan sampai kita salah pilih calon presiden di esok hari yang kelak berpengaruh besar pada kehidupan kita di lima tahun selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H