AI berbasis chatbot yang konon katanya bisa menulis. Apa benar demikian?
Kemarin, pertama kalinya saya mencoba ChatGPT, salah satu teknologiNamun sebelum benar-benar mencoba, pengguna diharuskan mendaftarkan diri menggunakan email. Yang kemudian, akan dikirimkan link verifikasi email ke email pengguna. Selain email, nomor HP juga diperlukan dalam pendaftaran ini. Dan pengguna akan mendapatkan OTP yang dikirimkan ke SMS/WhatsApp nomor tersebut.
Setelah terdaftar, barulah saya mencoba chatbot tersebut. Namun sebelumnya, saya juga sudah menonton tutorial cara menggunakan ChatGPT di YouTube. Jadi saya tinggal ikuti langkah-langkahnya seperti yang telah ditonton sebelumnya.
Dan, terkejut bukan main! ChatGPT bisa melakukan banyak hal yang saya perintahkan. Ia bisa membuat outline tulisan beserta tulisan lengkapnya, hanya dalam waktu beberapa detik. Lama-lamanya, ya beberapa menitlah.
Tulisannya pun sudah rapi betul. Disertai poin-poin atau penomoran. Jika dilihat sekilas, kemungkinan besar pembaca akan mengira bahwa ini adalah tulisan manusia.
Parahnya lagi, tulisan hasil ChatGPT ini tidak terdeteksi plagiarisme oleh Duplichecker, situs web pengecek plagiarisme yang saya gunakan. Dengan hasil yang begini, bisa saja mahasiswa menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan tugas. Apalagi, mahasiswa kan banyak yang memiliki tugas makalah atau tugas-tugas yang terkait dengan menulis. Dan mungkin, tidak hanya mahasiswa. Tapi juga para pekerja di luaran sana yang bekerja di bidang tulis-menulis.
Namun, tentu masih ada kelemahan yang dimiliki teknologi AI ini.
Untuk tulisan-tulisan yang bersifat tutorial atau materi, ChatGPT masih mampu bekerja dengan baik. Tapi lain lagi jika kita minta dibuatkan tulisan review buku atau review lagu.
Ketika saya minta dibuatkan review buku Aroma Karsa misalnya, ChatGPT justru menulis buku Aroma Karsa ditulis oleh penulis bernama Elli Kuswanti. Ya, aneh kan ya. Siapa pula Elli Kuswanti? Dan setelah saya cari tahu, nyatanya buku berjudul Aroma Karsa hanya ditulis Dee Lestari. Tidak ada penulis lain yang menulis buku dengan judul yang sama.
Sedangkan untuk review lagu, saya mengetesnya dengan lagu Diri dari Tulus. Dan, ya salah lagi. Tajuk album Manusia yang seharusnya dicantumkan, malah terganti dengan album bertajuk Ruang. Jadi ya, jelas sangat berbeda.
Lalu, saya juga meminta ChatGPT untuk membuatkan sebuah cerita. Namun, feel-nya jelas berbeda dibanding cerita buatan manusia. Ceritanya sangat monoton. Atau entah, karena perintah saya yang kurang jelas mungkin? Yang jelas, saya berpikir cerita fiksi lebih baik dibuat otak dan hati manusia. Feel-nya lebih terasa, dan bahasanya bisa lebih bervariasi. Poin lebihnya lagi, bisa mengangkat topik kebudayaan sekitar. Tapi ya, bukan tidak mungkin pula kalau ternyata robot bisa melakukan hal serupa.