Banyak hal yang orang-orang pilih ketika ingin menyalurkan amarahnya. Misalnya bercerita pada teman, menulis kekesalan yang dialami, memutar musik dengan volume kencang, dan hal-hal lainnya. Namun di antara yang telah disebutkan, justru saya memilih hal lain : jalan kaki sendirian.
Ketika berjalan kaki sendirian, saya bebas berbicara apapun. Di situlah saat-saat saya menumpahkan kekesalan atas apa yang terjadi sebelumnya. Tapi tentu, saya berbicara ketika tidak berpapasan orang lain dalam jarak dekat. Dan yang lebih penting, dilengkapi masker yang dapat menutupi gerakan mulut saat berbicara.
Perbincangan dengan diri sendiri di tengah perjalanan setidaknya membuat amarah saya mereda. Karena kekesalan beserta uneg-unegnya dapat tersalurkan meski sang pendengar itu adalah diri sendiri. Jika alam bisa mendengar, mungkin mereka juga turut mendengar keluh saya.
Usai menyalurkan amarah, terkadang penerimaan muncul begitu saja. Lalu pikiran saya berkata, "Sudahlah. Ini adalah kisah di hari ini. Tertawakan saja." Lantas saya tertawa tanpa ada orang lain yang menyadarinya.
Lama-kelamaan, emosi mereda dan membuat sedikit lebih tenang. Dan saat sampai tujuan, tidak ada lagi manusia yang dijadikan pelampiasan. Meski tak dapat dimungkiri, rasa lelah pasti akan menghampiri.
Ini adalah salah satu cara saya untuk menyalurkan amarah ketika baru saja mengalami suatu kejadian menjengkelkan. Dan barangkali, ini adalah cara yang lebih 'ramah di kantong' daripada harus pergi ke supermarket yang ujung-ujungnya harus merogoh uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H