Story in Coffee Cafe. Sebuah buku cerita pertama yang aku beli ketika masih SD. Bermula dari membaca buku-buku sepupu, jadi ketagihan membaca sampai akhirnya merengek minta dibelikan buku cerita pada orang tua. Tanpa disuruh, tanpa paksaan. Pokoknya, tiba-tiba ada keinginan dari diri sendiri.
Pernah suatu ketika, aku meminjam salah satu buku Pinkberry (kalau tidak salah) milik sepupuku yang berjumlah sekitar 150 halaman. Dan saat itu, buku tersebut langsung habis dibaca dalam setengah hari. Kemudian berkeinginan untuk meminjam lagi, hingga akhirnya membeli buku sendiri pada suatu bazar yang diadakan penerbit Mizan.
Lalu sekarang aku bertanya-tanya. Apa yang membuat aku begitu ketagihan membaca saat dulu? Alur ceritanya kah? Atau apanya? Padahal, dulu aku sama sekali kurang mengerti mengenai alur cerita. Kalau baca, ya baca saja. Tapi anehnya, langsung suka saja sama kegiatan membaca. Haha.
Namun, apapun yang menjadi alasan mengapa aku suka membaca secara tiba-tiba di masa SD dulu, tepatnya sekitar kelas lima atau enam, aku tetap bersyukur sekarang. Karena dengan membaca, aku jadi punya satu keinginan yang terus tertanam dalam diri, yaitu : ingin jadi penulis.
Secara tiba-tiba! Tepatnya, sekitar aku masih berusia tiga belas tahun. Hanya dari salah satu buku yang kebetulan, tahun kelahiran penulisnya sama seperti tahun kelahiranku. Hanya itu alasannya. Tapi keinginannya, masih ada sampai sekarang. Meski memang, belum juga kesampaian. Hehe.
Selain menjadi punya keinginan, atau yang sekarang ini jadi cita-cita, membaca juga tentu mengajarkan banyak hal. Dari buku-buku psikologi, aku jadi paham apa jenis kepribadian yang dimiliki. Dari buku Pulang, karya Tere Liye, aku jadi mulai belajar bagaimana cara mengikhlaskan.Â
Meski sampai sekarang, cara mengikhlaskan itu memang harus terus menerus dipelajari. Lalu dari komik Detective Conan, karya Aoyama Gosho, aku jadi tahu racun Sianida yang dikira hanya nama racun belaka dalam sebuah komik. Yang kini kuketahui, ternyata racun itu memang ada bahkan di Indonesia sekalipun. Dan masih banyak lagi hal-hal yang kuketahui dari membaca.
Membaca itu seru! Asyik! Keren! Bisa membawa kita mendalami emosi si tokoh. Pernah juga menangis gara-gara baca buku mellow. Bahkan ada juga buku yang alur ceritanya masih teringat rapat di otak. Uh, belum move on! Wkwk.
Di usia sekarang ini, yang mulai lebih serius lagi dalam menulis, membaca juga bisa jadi 'kegiatan kuliah'. Di setiap per katanya, memperhatikan ejaan. Di setiap kalimatnya, memperhatikan tanda baca. Dan lain sebagainya. Ya, begitu.
Namun, jika membaca hanya didasari keinginan terlihat keren di mata orang lain, apa masih terasa nyaman? Atau mungkin, memang harus dipaksakan hingga terbiasakan?