Gambar 1. Chemical Structure 2D of Piperidin
Meningkatnya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika sangat erat kaitannya dengan penggunaan alat-alat yang berpotensi dalam penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika maupun Prekursor sebagai salah satu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang digunakan untuk memproduksi Narkotika dan Psikotropika secara gelap. Peningkatan penyalahgunaan Prekursor dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika telah menjadi ancaman yang sangat serius yang dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan, instabilitas ekonomi, gangguan keamanan, serta kejahatan internasional oleh karena itu perlu diawasi secara ketat agar dapat digunakan sesuai peruntukannya. Â
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi , Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi Industri Farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau kalium permanganat.
Untuk prekursor yang digunakan dalam kegiatan industri farmasi, pengawasannya ada pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan pengawasan prekursor yang digunakan. untuk kebutuhan non-farmasi ada pada BNN (Badan Nasional Narkotika) dan Bareskrim Polri. Sekarang terjadi pergeseran konsumsi dari narkotika alami (ganja, kokain) ke narkotika jenis sintetis (sabu dan ekstasi). Untuk membuat narkotika sintetis jenis sabu dan ekstasi, dibutuhkan prekursor yang bisa didapatkan dari obat-obatan (sediaan farmasi). Selama ini, sering ditemukan di clandestine laboratory (laboratorium gelap) berbagai macam sediaan farmasi yang mungkin digunakan secara ilegal sebagai zat aktif ataupun zat tambahan untuk pembuatan narkotika sintetis. Untuk itulah, diperlukan fungsi apoteker dalam melakukan kontrol (pengawasan) terhadap komoditas farmasi.
Salah satu prekursor yang diawasi oleh pemerintah yaitu piperidin. Piperidin  memiliki respon biologis sebagai Phobic disorders treatment, Chymosin inhibitor, dan Saccharopepsin inhibitor. Phobic disorders treatment merupakan suatu pengobatan yang dilakukan untuk gangguan fobia atau ketakutan terhadap hal-hal tertentu. Fatseas et al. (2010) menyatakan bahwa gangguan yang paling sering terjadi di masyarakat adalah gangguan fobia, termasuk fobia sederhana dan fobia sosial, dan gangguan kecemasan umum. Saccharopepsin inhibitor adalah zat penghambat pertumbuhan jamur atau bisa disebut sebagai antifungal. Menurut Santos (2010), dalam database Protein Data Bank (PDB), saccharopepsin merupakan salah satu peptidase jamur. Database ini dapat membantu dalam pengembangan senyawa antijamur yang baru dan kuat.
Triheksifenidil adalah senyawa piperidin, daya antikolinergik dan efek sentralnya mirip atropin namun lebih lemah. Obat ini spesifik untuk reseptor muskarinik (menghambat resep- tor asetilkolin muskarinik). Pemberian triheksifenidil bersamaan dengan antihipertensi, antihistamin, fenothiazin, atau trisiklik antidepresan menyebab- kan mulut kering, pandangan kabur, detak jantung meningkat, dan kebingungan mental. Triheksifenidiltidak direkomendasikan penggunaannya pada anak-anak karena keamanan dan keefektivan pada kelompok umur pediatrik belum pernah dipublikasikan.
Efek penyalahgunaan piperidin yaitu dapat menyebabkan iritasi dan luka bakar pada hidung, tenggorokan dan selaput lendir pada saluran pernafasan, paparan berulang atau terus menerus dapat mengakibatkan edema paru.
Jenis-jenis prekursor yang diawasi oleh pemerintah Indonesia menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor sebagai berikut:
TABEL I
TABEL II