Bangsa Indonesia tak henti-hentinya mendapatkan ujian berat dari guncangan bom. Kini giliran Depok, Jawa Barat mendapatkan giliran. Tepatnya di Jl Nusantara No 63, Beji, Depok, Jawa Barat Sabtu (8/9/2012) malam pukul 21.05 terjadi ledakan bom yang memakan korban dari anak bangsa sendiri. Berbagai spekulasi bermunculan dari kiprah bomber Depok tersebut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai sudah meyakini bom yang meledak di Depok ada hubungannya dengan aksi teror di Solo. Hal itu terlihat dari beberapa barang bukti berupa bahan peledak dan senjata yang ditemukan di lokasi ledakan. Setali dua uang dengan Kepala BNPT, Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan terhadap pelaku bom sejak bulan Ramadhan. Malah hasil pantauan Boy Rafli Amar, bomber Depok ini telah menyiapkan bahan peledak untuk masuk ke rumah yang mereka sewa, untuk kemudian dilakukan perakitan bom.
Yang menarik kita cermati disini, aparat keamanan seolah-olah "membiarkan" kejadian itu terjadi tanpa dilakukan upaya pencegahan. Kenapa kita mengatakan aparat membiarkan karena ketika indikasi, aparat tidak mengambil langkah extraordinary. Setelah mengetahu ada indikasi terjadi aksi kekerasan, maka berbagai upaya dilakukan agar kejadian itu tak terjadi. Tapi kenyataannya, itu tak dilakukan. Malah, terkesan "memelihara" tindakan kekerasan itu terjadi.
Melihat argumentasi aparat yang ada, kita bisa paham bahwa mereka paham karekter para pelaku teror itu. Sifat dan kebiasaannya diketahui secara detail dari berbagai sumber. Ya, seharusnya ketika sudah tahu, aparat keamanan mempelajari untuk diambil langkah preventif. Tidak hanya dengan kekerasan. Aparat bisa menyelesaikan dengan pendekatan ilmu psikologi dengan cara mendidik para pelaku itu. Melakukan pedekatan psikologi ke-Indonesiaan yang berbeda seperti selama ini dilakukan. Tidak dengan cara kekerasan pula atau menakut-nakuti teroris seperti yang telah ditempuh negara Barat. Karena dalam sejarah kita, Indonesia punya cara tersendiri menyelesaikan permasalahan bangsanya.
Langkah yang telah ditempuh selama ini, mereka tak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena, yang justru takut adalah masyarakat, bukan pelaku teroris. Dan pelaku justru berbangga diri karena kegiatan mereka diekspos secara besar-besaran oleh pemerintah melalui media. Selain itu, langkah pembinaan kelompok yang diindikasikan cenderung melakukan kekerasan menyelesaikan masalah.
Aksi kekerasan mereka tidak murni, terkadang karena alasan ideologi pemahaman mereka. Terkadang juga, dilatar-belakangi faktor keluarga. Di mana saat masa kecil, pelaku teror tidak mendapatkan pembinaan dengan baik di dalam keluarga. Mereka tidak mendapatkan perhatian penuh. Sehingga mereka menganggap diri sebagai warga no 7, dan tak dianggap. Ketika melakukan aksi teror dan terekspos. Baru kemudian mereka puas diri bahwa, "Saya dipedulikan apa yang telah kulakukan."
Artinya, aksi kekerasan di Indonesia, baik dilakukan orang Islam atau umat lainnya tak ada hubungannya dengan agama tertentu. Apalagi mengait-ngaitkan dengan lembaga pendidikan agama yang memiliki peran penting memerdekakan Indonesia; yaitu pesantren. Rentetan kejadian yang ada ini PR (pekerjaan rumah) bangsa Indonesia yang besar ini. Bukan hanya peran BNPT, Polri dan lainnya. Tapi menjaga keamanan tugas seluruh elemen masyarakat.
Indonesia yang kerap dijadikan opini internasional sebagai sarang teroris? Itu tak benar. Asalnya tak ada. Dan sejarah mengatakan, bangsa Indonesia adalah pemilik penduduk yang mengedepankan moralitas tinggi. Selain itu, masyarakat Indonesia cinta damai. Dari bertahun-tahun lama hidup berdampingan dengan pemeluk agama berbeda, tapi tak ada permasalah yang muncul permukaan. Semua baik-baik saja.
Namun, beberapa tahun terakhir ini, setelah isu terorisme gencar diembuskan oleh Amerika dan sekutunya. Indonesia mendapatkan efeknya terhadap kampanye itu. Bukan karena dilatari Indonesia mayoritas beragama Islam. Tapi juga, Indonesia adalah memiliki sumber daya alam (SDA) yang menarik dunia. Sehingga bisa dikatakan, ada muatan ekonomi-politik yang mengitari isu "Indonesia Negara Teroris."
Meski klaim itu terlalu pramatur, tapi indikasi itu bisa diterima dengan argumentasi dan apologi yang dibangun bahwa Indonesia bisa disebut sarang pelaku teror. Selain argumentasi yang dibangun masuk akal, fakta di lapangan menunjukkan demikian bahwa Indonesia ada akar ideologi teroris. Ini yang menjadi tugas bangsa untuk menjawab atau membuktikan bahwa Indonesia termasuk negara mendukung perdamaian dunia seperti tercantum dalam UUD 1945. Dan didukung dalam sila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H