Gegap gempita pesta demokrasi Indonesia ke-7 yang mengusung dua pasang kandidat capres-cawapres—Prabowo-Hatta dan Jokwoi JK—telah berhasil ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 24 Juli 2014 yaitu pasangan Jokowi-JK. Hasil kemenangan itu kemudian ketuk palu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai payung hukum dan dilantik olehMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2014 lalu.
Kini, sudah tak terasa lagi pemerintahan Jokowi telah memimpin Indonesia selama enam bulan lebih. Hiruk-pikuk proses demokrasi pada era Jokowi penuh dengan dinamika yang menandakan adanya dinamisasi dalam pemerintahannya. Jargon yang dibawanya dalam pemilihan umum (pemilu) untuk medonkgrak elektabilitasnya dalam kancah perpolitikan nampaknya mulai meredup. Begitupun dengan platform yang menjadi preferensinya.
Jargon yang dikampanyekan pada masa-masa itu dengan bunyi “revolusi mental”. Mungkin salah satunya dengan jargon inilah yang mengantarkan Jokowi duduk di atas singgasananya sekarang. Ketika itu harga jargonnya Jokowi yang dikampanyekan bernilai ekonomis-politis di mata akademisi atau para pengamat. Banyak diantara mereka yang luluh lantah nalar intelektualnya dengan jargon seperti itu sehingga secara mati-matian mereka mencoba mendeskripiskannya secara persuasuif.
Bagitupun juga dengan visi yang entah siapa yang mengkonsepnya dan dituangkan dalam draft visi misi dan program aksinya. Draft itu berisi sekitar 42 halaman. Disusun dan dirangkai dengan kata-kata yang sederhana namun bermuatan politis-ekonomis. Elegan memang kalau kita membaca akan visi misinya, sehingga siapapun orang akan terpukau.
Namun ada yang paradoks antara teori dengan realita. Ada yang antitesis antara konseptual dengan operasional-praksisnya. Kita akan coba membongkar beberapa realtia di lapangan yang menjadi representasi antitesisnya ide dengan praksisnya. Dalam hal ini penulis mencoba membongkar dalam sektor hukum dan ekonomi—atau mungkin ada dimensi lain yang secara eksplisit tertera—yang kemudian direlevansikan dengan mentalitas fir’aunisme.
Pertama, dalam sektor hukum, pemerintahan Jokowi mempunyai misi “mewujudkan masyarakat maju, keseimbangan dan demokratis secara hukum”. Dalam realitanya, bahkan tindakan pemerintah malah memberikan ketidakpastian hukum politik terhadap partai-partai politik misalnya, sehingga dengan keambiguannya sikap pemerintah ini memberikan implikasi pada terfragmentasinya antar politisi dalam rumahnya sendiri.
Fenomena ini juga tidak terlepas daripada intervensi politik yang dilakukan pemerintah Jokowi-JK melalui Kemenrian Hukum dan HAM, Yassona Laoly. Indikator intervensinya adalah terletak pada pemberian legitimasi kepada salah satu kubu yang berafiliasi dengan koalisi politiknya. Dalam hal ini dapatkita amati terjadi dalam partai politik PPP dan Golkar. Mestinya pemerintah memberikan legitimasi kepada partai politik setelah kisruh internalnya seslesai, bukan malah semakin memperkeruh kondisi politik dalam partai itu sendiri.
Kalau kita amati sebetulnya banyak permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi dalam pemerintahan Jokowi-JK yang bahkan memerangi pejabat-pejabat negara untuk memberantas kemungkaran. Kita lihat kisruh antara dua lembaga negara yang paling urgen dalam negara itu sendiri: KPK dan Kapolri. Berapa banyak masyarakat sipil dan pejabat yang terperdaya dan lagi lagi terfragmentasi pada dualisme-dikotomis. Dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Kedua, dalam sektor ekonomi. Dalam sektor ini bahkan lebih kompleks blunder-blunder yang dilakukan dalam pemerintahan Jokowi-JK. Mulai dari kenaikan ketidakpastian harga bahan bakar minyak (bbm), deflasinya nilai tukar rupiah, terjadinya inflasi yang relatif tinggi, naiknya tarif dasar listrik, naiknya harga tiket kreta dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih parah lagi bagaimana kegiatan impor yang tidak terkendali dan membuat terpuruknya kondisi ekonomi di Indonesia.
Ketiga, dalam sektor keamanan. Keamanan merupakan tindakan yang sangat penting untuk menjaga survivalnya warga negara yang merupakan unsur dalam sebuah negara. Dalam hal ini, pemerintahan Jokowi dinilai gagal dalam upaya untuk menjaga keamanan. Kasus-kasus kriminal yang selama ini berjalan secara pelan tapi pasi seolah-olah mendapat restu dari pemerintahan Jokowi-JK sebagai upaya peralihan isu. Kita lihat misalnya kasus begal motor, ISIS dan kasus lainnya.
Implikasi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap masyarakat Indonesia begitu sifnigikan dan sentimen terutama dalam kedua sektor yang sentral dalam pemerintahan. Di sinilah masyarakat-masyarakat yang ekonominya kelas menengah ke bawah semakin terpuruk kehidupannya.
Carut marut kebijakan dalam berabagai sektor tak lain karena ada berbagai banyak kepentingan politik untuk pribadi ataupun kolektif, dari tingkat regional, nasional hingga internasional. Ini terlihat dalam berbagai kebijakan yang anti terhadap rakyatnya. Konon katanya ketika mendengung-dengungkan dalam kampanye paling keras untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Nyatanya hanya bisa membodohi dan membohongi rakyat semata.
Kalau kita coba amati secara politis, terjadinya kekisruhan KPK dan Kapolri yang bermula dari kasus pencalonan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri ini adalah sebuah pengalihan isu agar kepentingan mereka berjalan dengan mulus. Sebut saja misalnya dengan kepentingan pemerintah Jokowi-JK dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport yang merupakan melanggar konstitusi dan bahkan mengkhianati trisakti yang selama ini menjadi platform Jokowi saat kampanye.
Kemudian muncul lagi kekisruhan antara gubernur Jakarta dengan DPRD yang selama ini digembor-gemborkan media dan juga isu ISIS menyerang Indonesia. Ini juga sebetulnya bermuatan politis dan sengaja isu itu diadakan dan diekspose oleh media masa sebagai pengalihan isu. Dalam konteks ini masyarakat Indonesia lupa bahwa terpidana narkoba dari Australia tertunda pengeksekusiannya atau bahkan batal.
Mengapa tertunda? Karena ada intervensi politik dari Australia. Sejak sebelumnya etos Jokowi sangat tinggi untuk mengeksekusi, tapi entah kenapa sekarang meredup. Saya menduga bahwa Jokowi diintimidasi dan diancam oleh Australia jika seandainya Jokowi mengeksekusinya, maka Australia akan membongkar apa yang selama ini telah mereka sadap.
Jika kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi diwarnai dengan intervensi politik, begitu pula dengan kisruh KPK dan Polri yang sama-sama membuat masyarakat terfragmentasi, khususnya masyarakat elite politik. Kebijakan dalam sektor ekonomi dan keamanan, membuat rakyat kecil menjerit masyarakat kecil.
Ketika dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, menaikkan harga-harga pokok yang masyarakat sering konsumsi selama ini membuat mereka tercekik dengan kebijakannya dan hidup mereka frustasi hingga akhirnya terekspresikan secara parsial dalam melakukan tindak kriminal. Ketika harga BBM naik, maka sudah pasti implikasinya adalah terjadi inflasi, dan harga-harga semakin mahal. Lalu bagaimana dengan masyarakat miskin?
Mentalitas Fir’aunisme
Sungguh, kebijakan-kebijakan politik-hukum pemerintah Jokowi dalam jangka seratus hari lebih membuat neo-kemungkaran-kemungkaran sosial-ekonomi secara terstruktur dan masif. Masyarakat dibiarkan untuk menangis dan menjerit ketika kebijakan-kebijakan politik itu dikeluarkan sebagai realisasi kepentingan kaum elit, tapi minim solusi. Tidak ada jauh bedanya dengan rezim fi’aun ketika dulu.
Mentalitas penindas terhadap rakyatnya sendiri merupakan manifestasi dari mentalitas Fir’aunisme dalam jubah politik. Fir’aun adalah penguasa Mesir kuno yang mengaku sebagai Tuhan. Fir’aun terkenal sangat zalim, bengis dan kejam kepada rakyatnya. Fir’aun memerintah secara sewenang-wenang, menindas dan melakukan eksploitasi kepada rakyatnya.
Kecenderungan mentalitas Fir’aunisme kali ini ada dalam jubah politik pemerintahan Jokowi. Di mana ia menindas secara terstruktur dan sistematis kepada rakyatnya dengan masif. Ia cukup eksklusif untuk menerima kritik dari rakyatnya sendiri. Ketika mahasiswa bersuara menyampaikan kritik kepada pemerintahan Jokowi, malah ia tidak menghiraukannya. Dan rupanya ada operasi senyap agar media masa mainstream agar tidak mengeksposenya karena akan mengganggu survival kekuasaannya. Begitupun juga dengan aparat keamanan agar bersikap repsesif terhadap penentang Jokowi.
Sudah banyak mahasiswa yang beraksi untuk mengkritik dan sekaligus memberikan rapor merah kepada pemerintahan Jokowi akan kebijakan-kebijakannya. Tapi rupanya Jokowi sudah beraksi preventif dengan berkonspirasi dengan korporasi-korporasi media untuk tidak mengekspose hal itu. Itulah beberpa manifestasi dari mentalitas Fir’aunisme yang tercermin dalam pemerintahan Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H