Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat sebagai kaum terpelajar yang mendapatkan pendidikannya di lingkungan perguruan tinggi. Dalam menjalani pendidikannya di perguruan tinggi, mahasiswa diharapkan bukan hanya menjadi kaum terpelajar yang pasif terhadap realits sosial-empirik, tapi juga ikut berkontribusi mewarnainya.
Di dalam perguruan tinggi, mahasiswa mestinya tidak hanya menimba dan memperoleh ilmu pengetahuan sesuai dengan potensi yang dimilikinya, tapi juga diharapkan dapat melahirkan sikap kritis terhadap kondisi yang ada di lingkungan masyarakat.
Sikap kritis mahasiswa ini salah satu dimanifestasikan dengan melakukan aksi demonstrasi. Aksi demontsrasi bagi sebagian mahasiswa merupakan wujud dari tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang memang dirasa tidak nyaman.
Namun ada hal yang menarik ketika ada mahasiswa lain yang tidak suka dengan aksi demonstrasi ini melakukan eskapisme dengan menstigma makna demonstrasi agar nilai jualnya rendah di mata masyarakat. Hal ini juga banyak dilakukan oleh sebagian media yang korporasinya berkonspirasi dengan pemangku kepentingan untuk ikut andil memberikan stigma.
Terstigmanya makna demonstrasi mahasiswa di kaca mata masyarakat merupakan salah satu keinginan pemerintah yang zhalim agar kebijakannya—baik yang merakyat atau yang menindas—senantiasa diamini oleh masyarakat banyak secara masif, sehingga tidak perlu lagi ada upaya untuk mengkritisi kebijakannya.
Singkatnya, dalam hal ini pemerintah yang zhalim ingin membekukan aksi demonstrasi mahasiswa dengan salah satu caranya menstigma makna aksi demonstrasi melalui mahasiswa sendiri yang tidak setuju, sehingga aksi demonstrasi mahasiswa selalu diasosiasikan dengan hal-hal yang negatif.
Selain menginfiltrasi mahasiswa lain yang tidak setuju dengan aksi demosntrasi, pemerintah juga getol untuk mengompor-ngompori media agar peristiwa demontrasi diasosiasikan dengan hal yang negatif, kekerasan misalnya.
Inilah yang memicu mahasiswa yang tidak suka dengan aksi demonstrasi akhirnya ikut andil dalam keinginan pemerintah untuk memfragmentasi antara mahasiswa dan masyarakat dengan menstigma makna demonstrasi, sehingga akhirnya tidak ada masyarakat yang bersatu dengan mahasiswa untuk memperjuangkan hak-haknya.
Pemberian stigma terhadap demontrasi mahasiswa akhir-akhir ini adalah dengan mengasosiasikan demonstrasi sebagai ajang “selfie” dan “narsis”. Isu ini cukup laku untuk menstigma makna demonstrasi. Entah siapa yang memunculkan isu ini sehingga senantiasa diasosiasikan dengan demontrasi.
Bagi mahasiswa yang tidak suka dengan aksi demonstrasi, isu “selfie” atau “narsis” dalam demosntrasi senantiasa dijadikan rasionalisasi agar mahasiswa lain tidak ikut serta melakukannya. Mereka juga tidak segan untuk memberikan edukasi yang setback kepada mahasiswa lainnya untuk fokus dan konsentrasi pada kegiatannya di kampus.
Ada juga upaya pemberian stigma terhadap aksi demonstrasi selain dari isu ajang “selfie” dan “narsis”, juga sebagai ajang kekerasan dengan pihak keamanan yang represif. Isu ini kemudian dimuat di media dengan terus menerus membackup-nya, agar memberikan kesan negatif kepada mahasiswa yang lainnya untuk tidak berpartisipasi melakukannya.
Usaha pemberian stigma negatif terhadap demonstrasi dengan memberikan pemaknaan yang reduktif atau diasosiasikan dengan isu-isu yang lebay, nampaknya mempunyai implikasi yang cukup besar kepada mahasiswa untuk tidak bersikap kritis terhadap realitas sosial-empirik dengan melaukan demonstrasi. Hasilnya, tidak sedikit saat ini mahasiswa pergerakan yang tadinya memiliki etos tinggi akan sikap kritisnya menjadi down dan pasif.
Ajang “selfie” dan “narsis” dalam aksi demonstrasi memang tidak bisa dipungkiri saat ini, mengingat semakin canggihnya teknologi. Tapi tidak semua mahasiswa yang aksi melakukan ajang “selfie” dan “narsis” dalam demonstrasi. Itu bisa terhitung oleh jari—bahkan mungkin tidak ada di banyak aksi demonstrasi yang melakukan hal itu—dan tidak bisa juga digeneralisir sehingga citra aksi demonstrasi menjadi buruk. Mungkin mereka adalah wartawan yang mengambil dokumentasi, mungkin juga pelajar atau masyarakat lain dengan maksud mengabadikan momen itu.
Begitupun juga dengan diasosiasikan dengan isu “kekerasan”. Isu ini menjadi “proyek” yang empuk bagi media yang berkonspirasi dengan pemerintah untuk bisa mencapai kepentingan masing-masing. Tidak semua juga semua aksi demonstrasi digeneralisir dengan diasosiasikan dengan kekerasan. Mungkin hanya di sebagian kampus atau sebagian daerah saja yang mempunyai sentimen yang tinggi.
Demonstrasi mahasiswa adalah sebuah manifestasi dari proses berjalannya asas demokrasi di negeri ini. demonstrasi mahasiswa merupakan sebuah ekspresi dari kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kritik, saran, dan gagasan untuk sebuah kebijakan disertai dengan niat untuk memperjuangkan hak-hak wong cilik, menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghapuskan adanya penindasan terhadap rakyat jelata.
Namun, hendaknya aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa jangan terpancing oleh sikap dari aparat keamanan yang represif, sehingga aksi demonstrasi bisa berjalan sesuai dengan keidentikkan mahasiswa sebagai kaum intelektual dan terpelajar.
Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa mestinya dilakukan dengan cara-cara yang intelek, elegan, dan bijaksana. Sikap kritis mahasiswa yang dimanifestasikan dalam gerakan aksi demonstrasi harus ditopang dengan prinsip etis, analistis, serta harus diikuti juga dengan pernyataan solutif sebagai masukan dan saran atas kekurangan yang ada pada kebijakan pemerintah.
Bagi mahasiswa yang tidak suka dengan aksi demonstrasi, hendaknya tidak memberikan stigma buruk, sehingga membuat aksi demonstrasi mahasiswa menjadi senyap dan lama-kelamaan tertelan oleh bumi yang akhirnya membuat budaya kritisisme mahasiswa menjadi padam.
Habib Iman Nurdin Sholeh
Mahasiswa Syari’ah FAI UMS, Sekretaris IMM Pondok Hajjah Nuriyah Shabran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H