LAGI-LAGI PELAKU KORUPSI DI HUKUM RINGAN
Melakukan tindakan korupsi merupakan hal yang merusak tatanan negara dari segi ekonomi. Bagaimana tidak dengan adanya oknum yang melakukan korupsi maka akan menimbulkan kerugian negara dalam bidang ekonomi. Korupsi akan menimbulkan dampak yang sangat luas seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi pada suatu negara, menurunnya investasi, kemiskinan semakin merajalela, adanya banyak ketimpangan pendapatan, tidak terjaminnya kualitas layanan publik secara maksimal, dan yang paling terasa saat ini adalah bertambahnya utang publik yang menyebabkan publik harus merasakan dua kali lipat kenaikan harga-harga barang di pasaran.
Adapun saat ini yang paling disorot merupakan kenaikan pajak yang akan di meningkat pada tahun 2025 sebesar 12%. Kenaikan pajak ini banyak menimbulkan perdebatan dan tentangan dari masyarakat dikarenakan barang yang kena pajak adalah barang yang menyasar juga pada barang kebutuhan pokok masyarakat. Hal ini juga merupakan salah satu dampak dari banyaknya korupsi di Indonesia, sehingga kerugian negara meningkat dan rakyat harus tercekat dengan pajak yang melambung naik mencekik rakyat.
Dari sini dapat dilihat begitu sangat seriusnya dampak korupsi sehingga kestabilan ekonomi negara menjadi menurun tajam. Dengan fakta yang begitu besar ini sangat disayangkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih sangat buruk, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pelaku korupsi yang divonis ringan. Salah satu yang terbaru adalah kasus korupsi timah dimana seorang suami selebriti yaitu Harvey Moeis yang terlibat korupsi dalam pengolahan tanah niaga komoditas timas secara bersama-sama hingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 300 Triliun.
Hari ini Harvey Moeis telah divonis hukuman penjara 6,5 Tahun dan denda Rp. 210 miliar, hal ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu penjara 12 Tahun dan denda Rp. 1 miliar serta uang pengganti Rp. 210 miliar. Jaksa juga menyatakan bahwa harta denda Harvey dapat dirampas dan dilelang jika tidak membayar uang pe nganti tersebut. Selain itu 2 terdakwa lainnya Rosalina divonis pidana 4 Tahun penjara dan denda Rp. 750 juta sub enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 2.2 Triliyun. Sedangkan Awi selaku BO PT Staindo Inti Perkasa dan Robert Indarto selaku Direktur PT Sariwiguna Binasentosa yang divonis pada tahun 2019 lalu dengan pidana 8 tahun dan denda Rp. 1 miliar dan uang penggnati Rp. 1,9 Triliun.
Hal ini sangat memperihatinkan bahwa hukuman yang dikenakan porsinya setengah sendiri dari tuntutan yang dikenakan. Selain itu alasan ringannya hukuman yang diberikan oleh hakim dikarenakan sopan, masih mempunyai tanggunga keluarga, serta belum pernah dipidana sangatlah tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan yaitu Rp. 300 triliun.
Masyarakat sangat geram dengan adanya vonis ini dan mengatakan lemahnya penegakan hukum terutama untuk korupsi membuat semakin terpuruknya kondisi perekonomian negara. Â Dari sini juga dapat dilihat bahwa kasus korupsi dengan hanya dihukum penjara yang sering divonis ringan oleh hakim membuat koruptor tidak merasa jera akan tetapi justru merajalela.
Kita harus menyadari bahwa dengan menghukum pidana penjara dan denda yang tidak sebanding dengan kerugian negara tidak mempan sama sekali untu para koruptor. Diperlukan upaya yang lebih untuk membasmi koruptor, perlu adanya tindakan perampasan seluruh aset dan dimiskinakan adalah salah satu alternatif. Selain itu menurut hikmat penulis adanya Cancel Culture dari masyarakat mungkin dapat membantu memberikan efek jera pada koruptor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H