Mendatangkan Luis Milla dari Spanyol adalah salah satu jalan yang ditempuh oleh PSSI untuk memajukan sepakbola nasional, khususnya pretasi Tim Nasional (Timnas). Jelas penunjukan Milla, dengan segala rekam jejaknya adalah pilihan yang logis dan masuk akal.
Milla yang terkenal sebagai salah satu pelatih yang sukses dalam membina pemain -- pemain junior sebelum mentas ke level senior. Timnas junior Spanyol dengan menjuarai Piala Eropa U21 pada 2011 adalah bukti kesuksesan Milla, pemain -- pemain hebat seperti : Ander Herrera, Thiago Alcantara, Juan Mata, DAvid De Gea, hingga Javi Martinez, adalah mantan anak asuhannya di Timnas junior Spanyol tersebut.
Dengan latar belakang tersebut ditambah bahwa melihat kultur sepakbola Spanyol yang memang lebih dekat ke Indonesia, dibandingkan dengan negara eropa lainnya, semisal Inggris atau Italia. Maka didatangkanah Milla oleh pengurus PSSI . Milla ditugaskan untuk menangani Timnas senior dan Timnas U -22.
Tugas pertama Milla dalam pertandingan resmi baru saja berakhir dengan kegagalan. Milla tidak mampu membawa Timnas U-22 lolos ke putaran final Piala AFC U-22 2018. Di babak penyisihan yang berlangsung pekan lalu. Indonesia berada di peringkat ketiga dengan nilai 4, hasil sekali menang dan sekali seri. Malaysia dan Thailand akhirnya lolos ke babak putaran final dari grup ini.
Seperti yang Milla sendiri katakana kegagalan Indonesia lolos sebagian besar karena kesalahan dalam 30 menit pertama pada pertandingan pertama, yakni saat melawan Malaysia. Saat itu Indonesia kalah 3-0 dan ketiga gol Malaysia tersebut tercipta sebelum menit ke -30. Di pertandingn selanjutnya Indonesia sudah dapat berbenah, menang 7-0 atas Mongolia, kemudian imbang dengan Thailand 0-0, Imbang melawan Thailand menurut penulis lebih dikarenakan kedua tim tidak bisa menunjukkan permainan terbaik. Lapangan yang digunakan lebih mirip kubangan daripada lapangan sepakbola.
Kembali ke -30 menit awal di pertandingan pertama, Milla menurunkan para pemain yang sangat berbeda dengan yang ada di benak sebagian pencinta sepakbola Indonesia. Evan Dimas dan Hansamu Yama tidak ada di line --up. Kapten tim diserahkan kepada Bagas Adi. Yang menjadi pertanyaan adalah salahkah Milla dengan keputusannya menurunkan line -- up tersebut?
Secara kita melihat sebagai supporter, jelas pilihan Milla ini salah besar. Buktinya memang demikian ketiga gol tersebut tercipta terlalu gampang. Ditambah pemain Indonesia bermain seperti tanpa arah, koordinasi tidak jelas. Intinya amburadul. Barulah di babak kedua saat Evan Dimas dimasukkan keadaan mulai membaik, tetapi sayang banyak peluang terbuang percuma karena mental pemain sudah down terlebih dahulu.
Tetapi mari kita berfikir dari kaca mata pelatih. Dia yang menyeleksi, dia yang menyaksikan langsung pemainnya berlatih, dan dalam ber-ujicoba, itu berarti dia telah melihat kualitas skill para pemainya secara langsung . Milla pasti sudah bisa mengukur kemampuan skill para pemian yang akan diturunkan. Ditambah lagi skema yang biasa dimainkan saat latihan sudah berjalan dengan baik. Mungkin Milla sendiri bingung mengapa cara bermain para pemainnya jadi amburaul begitu di lapangan.
Jawabannya bisa jadi hal ini, (tentunya pembaca bisa setuju atau tidak). Milla sedikit lupa pada faktor mental dan budaya. Memang benar para pemain yang diturunkan pada babak pertama tersebut memang pemain terbaik secara skill dan secara skema pertandingan. Tetapi ingat hal itu dilihat Milla saat berlatih dan saat pertandingan uji coba, bukan pada pertandingan resmi. Hal kecil inilah yang berdampak besar. Tekanan dalam pertandingan resmi apalagi dituntut harus menang ditambah bermain melawan Malaysia, membuat para pemain muda ini nervous, kalau sudah nervous maka mental bertandingan akan menurun, koordinasi antar lini menjadi lemah.
Pada saat itulah dibutuhkan typical pemain yang bisa mengangkat moril pemain lainnya. Di saat itulah peran kapten tim sangat-sangat dibutuhkan. Di sini Milla sedikit kurang jeli. Bagas Adi yang diharapkan bisa menjadi penyemangat moril rekan rekannya di lapangan ternyata belum mampu menjalankan tugasnya. Dia sendiri seperti masih bingung dengan tanggung jawabnya. Tidak heran Bagas Adi sendiri akhirnya mendapatkan kartu kuning karena melanggar lawan.
Jenis pemain ini memang langka, dimanapun bukan hanya di Indonesia. Ingat nama -- nama besar seperti Roy Keane, Eric Cantona, John Tery, Viera, Steven Gerard, Totti, Xavi dan nama pemain berkharisma lainnya. Mereka mungkin bukan yang tercepat dalam berlari, mereka mungkin juga bukan pencetak gol handal, mereka mungkin juga bukan pengoper terhandal, tetapi kehadiran mereka adalah "roh" dari tim itu sendiri. Tanpa mereka tim yang mereka bela serasa ada yang kurang, walaupun sebenarnya di lapangan banyak pemain hebat lainnya.