Keputusan Gubenur DKI Jakarta Bapak Ahok, melalui pemprovnya untuk membeli saham Persija sebaiknya perlu ditinjau ulang, minimal kita kritisi. Memang benar bahwa Persija adalah ikon Jakarta yang sedang terbelit biaya dalam persiapan mengarungi Kompetisi sepakbola di Negara kita, benar juga bahwa Persija saat ini membutuhkan dana segar untuk segara meyelesaikan persoalan adminsitrasi pemain. Tetapi menurut penulis langkah ini adalah sebuah kemunduran dari sudut pandang pengelolaan persepakbola professional di Indonesia yang sedang kita bangun. Mengapa disebut kemunduran? Sedikit argument coba penulis rangkum dalam tulisan dibawah ini.
Pelarangan pengunaan APBD untuk klub sepakbola
Beberapa tahun yang lalu sempat diributkan takkala sebagian besar klub yang berlaga di kompetisi memperoleh dana dari APBD daerah masing – masing. Kemudian muncul keputusan yang melarang penggunaan dana tersebut untuk membiayai klub. Sangat setuju sekali dengan hal ini karena olahraga bukan hanya sepakbola. Toh, kalaupun harus ke sepakbola, masih banyak cara untuk memajukan sepakbola contohnya : focus kepada turnamen / kompetesi antar sekolah dan perguruan tinggi, perbaikan sarana dan fasilitas public untuk bermain bola atau juga melatihan terhadap guru2 olahraga. Atau kalau mau memberikan keringanan kepada klub profesional lebih baik membuatkan stadion baru, dimana klub mendapatkan perlakuan khusus membayar sewa yang murah, itu jauh lebih berguna. Yang pada intinya bahwa jangan uang tersebut digunakan untuk membiayai klub professional. Sebab tidak adil rasanya bahwa dana yang dihimpun dari pajak masyarakat dihabiskan untuk membayar sebuah klub yang menamakan dirinya professional.
Dikuatirkan sebagai kendaraan politik.
Saya tidak berprasangka buruk kepada Pak Ahok, saya juga sangat percaya kepada integritas beliau. Tetapi bagaimana dengan pejabat lainnya dengan penerusnya? Apabila nanti Pak Ahok tidak menjabat lagi? Apakah ada yang bisa menjamin bahwa nantinya akan berjalan baik-baik saja? Kalau nantinya sampai pemprov jadi membeli saham tentunya salah satu jajaran pengurus persija tentunya diisi oleh unsur pemerintahan. Mungkin bukan bapak Ahok, karena pasti beliau terlalu sibuk mengurus Jakarta. Tetapi apakah orang yang ditunjuk dapat berlaku netral? Ingat tahun 2015 ini adalah tahun politik dimana akan ada Pilkada serentak, okelah mungkin penduduk Jakarta lebih rasional dalam memilih. Tetapi kekuatiran bahwa klub sepakbola menjadi kendaraan politik itu tetap ada.
Jakarta bukan hanya Persija saja
Memang benar bahwa Persija adalah klub sepakbola terbesar di Jakarta, tetapi harap diingat dijakarta masih ada 2 kesebelasan elit yang bisa menembus kompetisi tertinggi di Negara kita, Yaitu Persijatim dan Persitara. Bagaimana nasib mereka sekarang? Persijatim untuk dapat bertahan hidup harus rela meninggalkan kampung halamannya dan sekarang berganti kostum menjadi Sriwijaya FC dan bermarkas di palembang, sementara Persitara dengan sumber daya terbatas mampu bertahan sementara, kemudian redup lagi karena kurangnya suntikan modal. Kalau nantinya pemprov mengucurkan dana untuk membeli saham Persija , bukankah dua klub tersebut juga berhak meminta “ suntikan” dana juga? Tidak boleh ada anak emas dan anak tiri dalam pembinaan olahraga.
Persija kekurangan dana tapi boros dalam pengeluran.
Sejatinya apabila kita tau kondisi keuangan kita tidak mampu, maka hiduplah sederhana. Masih ingat kasus bambang pamungkas yang sampai setahun menunggu kepastian gaji, agar dibayar oleh persija? Persija tidak ada uang segar. Persija sebaiknya melakukan penghematan. Jangan terlalu jor – joran apalagi hanya untuk gengsi2an saja. Pemain asing sebaiknya dibatasi, kita tau biaya gaji pemain asing mahal dan sampai sekarang tidak memberikan kontribusi yang nyata untuk permainan persija. Cukuplah 1 saja jangan sampai mengontrak 3 pemain. Jangan juga hobi mengumpulkan pemain bintang timnas, pemain timnas tentu mempunyai biaya yang mahal. Sewa lapangan yang lebih kecil, jangan ngotot menyewa gelora bung karno yang mana tidak pernah penuh ( kecuali ribun atas) pada saat persija tampil. Lebih baik sekarang persija focus dalam pembinaan pemain muda. Ada ratusan SSB dijakarta yang mana output output nya butuh sarana berkembang, nah daripada membayar para pemain dengan harga selangit lebih baik focus ke pembinaan pemain muda. Dan juga kurangi uji coba yang tidak perlu karena bukan murah mendatangkan tim laur, apalagi tim luar negeri. Yang manfaatnya juga tidak significant.
Turunkan Target Ikut kompetisi menjadi Target yang realistis.
Setiap awal kompetisi Persija pasti selalu menyampaikan target juara di akhir musim, tetapi para pengurus juga harusnya tau diri. Untuk mencapai target dibutuhkan harga pengorbanan yang juga tinggi. Dengan kondisi keuangan yang masih belum stabil, sebaiknya para pengurus tidak memberikan “angin surga” kepada para supporter dan juga pada para pemain. Buatlah target yang lebih realistis, apakah masuk 4 besar atau cukup bertahan dulu. Bukan berarti menyerah sebelum bertanding tapi ini adalah konsekuensi logis apabila suatu klub tidak didukung financial yang kuat.
Libatkan Peran Swasta dan Suporter dalam pembiayaan klub.
SUdah lazim dinegara yang persepakbolaannya maju, yang membiayain klub professional adalah pihak swasta dan supporter. Swasta bisa masuk sebagai sponsor. Dengan Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia harusnya tidak terlalu susah bagi persija untuk menggaet sponsor, tapi satu hal yang harus diingat bahwa untuk mau mengeluarkan uang apalgi ke dalam bidang olahraga, klub terserbut harus mempunya citra atau bahasa kerennya “brand image” yang baik dulu. Kalau itu sudah ada pasti sponsor akan ngantri berdatangan. Bagaimana “brand image” peasija sendiri? Apakah bisa menjual? Kenyataan bahwa belum ada sponsor utama yang berminat maka dapat dikatakan persija belum dapat menjual dirinya sendiri. Hal ini tentunya selain dengan prestasi mereka yang kurang baik, juga konotasi bahwa supporter persija belum dapat dikatakan pendukung yang baik. Siapa yang mau logonya dikaos persija tetapi setiap ada pertandingan persib vs persija selalu ada kerusuhan? Tentunya image produk menjadi jelek. Suporter harus dikelola dengan baik, dari merekalah sebenarnya pembiayaan klub berasal, harus ditanamkan bahwa persija adalah milik mereka, ke stadion untuk menonotn pertandingan bukan untuk gagah gagahan apalagi sampai berujung perkelahian. Masuk stadion harus membayar karcis, dan juga belilah antribut asli persija, sebab diluar negeri penjualan antribut menjadi salah satu pemasukan klub.
Biarkan seleksi alam bekerja.
Ada ungkapan “Mereka yang bertahan adalah mereka yang telah lulus ujian seleksi alam”. Harusnya persija juga melewati fase ini. Kalau sebenarnya tidak mampu jangan terus diberikan subsidi. Biarkan mereka untuk mundur sejenak. Mundirur 1 langkah atau 2 langkah untuk kemudian dapat maju 10 langkah. Kasih kesempatan tim lain yang mampu. Jangan terus diberikan subsidi. Biarkan alam yang menyeleksi mereka. Apakah mampu bertahan atau tidak. Dengan adanya seleksi alam tersebut dikemudian hari akan terbentuk klub sepakbola dan karakter klub yang kuat. Bukan karakter klub instan. Tahun ini juara, tahun depan bangkrut, 2 tahun kemudia bubar karena tidak ada biaya. PSSI sebagai regulator harus tegas dalam masalah ini. Sebab selama ini PSSI selalu berbicara profesinalitas klub. Bahwa klub harus memenuhi syarat A, B, C, D.. untuk dapat terjun ke kompetisi. Seharusnya PSSI menjalankan apa yang telah mereka putuskan. Jangan hanya karena kasihan, karena tidak enak, maka diloloskan. Sampai kapan kita dapat memperoleh liga professional kalau sistemnya tidak ditegakkan dengan sepenuh hati.
Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H