Setelah mengungguli Hillary Clinton, Donal Trump akhirnya menjadi Presiden Amerika ke 45. Kemenangan yang dikatakan sebagian kalangan mengejutkan ini sejatinya sudah dapat diprediksi jauh hari sebelumnya. Sebagian besar publik amerika mengetahui bahwa selain melawan Hillary, Trump juga harus melawan mereka yang mempunyai pengaruh uang yang sangat besar dan ditambah lagi media – media raksasa di Amerika.
Yang tentunya mempunyai kepentingan besar kalau Hillary dapat menang. Jadi segala yang namanya “asumsi”, “hasil survey”, “hasil jejak pendapat”, polling”, “hasil debat” dan segala parameter lainya hanyalah diatas kertas saja, bisa jadi hanya tergantung pesanan yang membayar. Hal itulah yang terjadi dalam pilpres Amerika saat ini.
Setelah Mr. Trump menang apa selanjutnya yang akan terjadi di Amerika? Sebelum melangkah dan berfikir lebih jauh akan apa dan bagaimana Trup bertindak serta kebijakan - kebijakannya, pastinya hal yang paling utama dibicarakan adalah bagaimana dan berapa lama yang dibutuhkan untuk menyembuhkan “luka batin” para pendukung fanatik Hillary yang sudah terlanjur yakin percaya bahwa calonnya bakalan menang, apalagi dengan melihat segala instrumen pendukung selama ini yang menjagokannya.
“Luka batin” ini bisa lama bisa sebentar, bercermin apa yang terjadi di negeri tercinta kita Indonesia, sudah dua tahun aroma pertentangan masih saja terasa, padahal sebenarnya yang berkepentingan sudah saling teguran satu sama lain, bahkan sudah cipika – cipiki. Apabila hal ini tidak segera dibereskan oleh Mr. Trump tentunya sangat merugikan langkahnya kedepan. Dukungan seluruh rakyat tentunya sangat dibutuhkan untuk menggerakkan segala sendi kehidupan.
Pada pidato pertama menyambut kemenangannya isu menganai pertentangan di antara rakyatnya coba ditengahi oleh Mr. Trump. Bahwa dia akan menjadi Presiden diatas semua golongan, dan meminta segala beda pendapat pada masa kampanye dihilangakan. Bahkan Mr. Trump menyelipkan kata – kata pujian kepada rivalnya Hillary.
Rakyat Amerika yang selama ini membanggakan diri sebagai negara paling demokrasi, merasakan efek dari apa yang dinamakan demokrasi. Disaat perbedaan begitu tajam dan hasil hitungan suara begitu tipis, maka yang dibutuhkan bukan saja akal yang pintar atau otot yang kuat untuk menerima, tetapi dibutuhkan kebesaran hati untuk menerima bahwa pilihannya tidak cukup suara untuk mencapai kemenangan. Sulit? Memang sangat sulit. Bahkan bagi mereka – mereka yang selama ini begitu yakin terutama sebagian besar dari golongan – golongan super – super kaya ( selebritis, milyuner, bahkan seorang Presiden sekalipun). Dibeberapa negara bagian sudah ada suara – suara untuk memisahkan diri menjadi negara sendiri seperti california dan bahkan ada yang pndah warga negara seperti Canada atau ke Selandia Baru.
Hati rakyat Amerika sepertinya sedang terbelah saat ini, disini diuji kematangan Trump dalam berpolitik dan memenangkan hati mereka yang terluka. Karena apabila terus menerus disibukkan oleh hal – hal domestik yang sebetulnya tidak perlu. Maka otomatis energi pikiran, tenaga dan dana akan habis henya kesana. Dan hal – hal yang jauh lebih penting menjadi terbengkalai.
Mungkin sudah saatnya Amerika menerima kenyataan bahwa demokrasi model mereka yang selama ini selalu mereka agung – agungkan ternyata masih menyimpan kekurangan. Mari ke Indonesia untuk bersama – sama belajar mengelola demokrasi yang tingkatan keruwetannya mungkin 10 kali lipat dari Amerika.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H