Sejatinya pertandingan sepak bola tanpa penonton adalah bukan pertandingan. Begitu juga apabila ada tim sepak bola tetapi tidak ada pendukung setia (suporter), sama saja eksistensi keberadaan klub/tim tersebut dianggap tidak ada.
Coba perhatikan klub–klub besar dunia seperti Manchester United, Barcelona, Real Madrid, Liverpool, Juventus dan lain sebagainya. Secara langsung dan tidak langsung keberlangsungan hidup mereka adalah dari para suporter. Baik suporter yang datang langsung ke stadion maupun suporter yang tersebar ke seluruh pelosok dunia. Hal itu ditandai dengan mahalnya hak siar yang harus dibayar untuk menonton pertandingan mereka.
Terus siapa yang sebenarnya membeli hak siar mereka? Tentunya adalah para suporter mereka. Selanjutnya adalah kalau satu tim setiap pertandingannya disaksikan ribuan bahkan jutaan pasang mata, tentunya sponsor otomatis antre menjadi mitra kerja untuk mempromosikan produknya. Secara singkat boleh dikatakan suporter/pendukung setia sepak bola lah yang membuat permainan sepak bola seperti sekarang ini yang kita saksikan itu ada.
Sebentar lagi PSSI yang merupakan induk sepak bola resmi di Indonesia akan melakukan kegiatan maha penting, yaitu: Pemilihan Ketua Umum baru. Pemilihan ini dilakukan selain merupakan wujud dari reformasi sepak bola yang diinginkan pemerintah serta FIFA juga dikarenakan adanya satu dan lain hal sehingga sang ketua umum sebelumnya berhalangan.
Yang menjadi pertanyaan besar di sini adalah: di manakah peran/suara suporter dalam proses pemilihan ini? Apakah para suporter ini mempunyai andil dalam proses pemilihan ketua? Ataukah hanya sebagai 'tim hore' saja?
Sebelum ke sana, sebaiknya kita melihat daftar stakeholders yang mempunyai hak suara dalam Pemilihan Ketua Umum. Mereka–mereka yang mempunyai hak suara adalah: Asosiasi Provinsi (34), Indonesia Super League (18), Divisi Utama (16), Divisi I (14), Liga Nusantara (22) serta tiga asosiasi: Asosiasi Pemain, Asosiasi Futsal, Asosiasi Pelatih. Jumlah totalnya adalah: 107 voters.
Dengan data di atas, jelas bahwa suara suporter secara resmi tidak dimasukkan/tidak diikutsertakan dalam proses pemilihan Ketua Umum nanti. Boleh dibilang keberadaan suporter belum terlalu dianggap oleh PSSI sendiri. Mereka seakan lupa bahwa suporterlah yang membuat mereka hidup.
Rencana pembentukan Asosiasi Suporter yang nantinya diakui sebagai bagian dari PSSI sebenarnya sudah lama dicanangkan. Baik dari usulan antar suporter sendiri maupun tekanan pihak pihak luar yang menginginkan suporter mempunyai wadah resmi, sehingga lebih mudah dikoordinir. Tapi entah mengapa sampai detik ini usulan tersebut belum ditindak lanjuti.
Hanya perlu diingat memasukkan elemen suporter ke dalam mekanisme pemilihan ketua umum bukannya tanpa masalah. Nantinya pasti akan banyak timbul konflik, karena kita tau pada saat acara–acara hajatan besar inilah waktu yang dinanti nanti oleh sebagian oknum untuk 'panen' duit. Siapa yang menyumbang paling besar maka peluang untuk mendapatkan suara semakin besar pula. Bayangkan kalau asosiasi suporter juga terlibat di dalamnya. Bisa akan terjadi gontok-gontokan antar mereka sendiri menyikapi siapa yang akan mereka dukung dalam pemilihan. Itu hanya contoh kecil akibat yang mungkin terjadi.
Jadi bagaimana sebaiknya? Tidak dilibatkan salah, dilibatkan juga salah? Penulis di sini cuma ingin memberikan sedikit saran terkait keberadaan suporter tersebut. Intinya adalah suporter tetap harus dilibatkan. Tetapi tentunya dalam batas–batas tertentu. Langkah pertama adalah membentuk asosiasi suporter dari seluruh Indonesia dan diakui secara resmi merupakan bagian dari PSSI. Setelah itu dalam masa-masa kongres atau pemilihan ketua seperti sekarang mereka harus dilibatkan.
Khusus untuk pemilihan ketua umum sebaiknya suporter tetap tidak mempunyai hak pilih. Karena bakalan repot nantinya mengurusi mereka. Mereka peran lebih kepada pengawasan. Jadikan perwakilan dari suporter sebagai bagian tim pemilihan ketua umum atau bagian tim banding. Istilahnya adalah mereka dilibatkan dalam 'think-tank' mereka bisa memberikan masukan serta memberikan pertimbangan atas apa yang terjadi di kongres. Daripada harus terjun menjadi pemilih (mempunyai hak suara).Â