[caption id="" align="aligncenter" width="654" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Puncak pembinaan serta prestasi sepak bola suatu negara adalah keberhasilan Timnas mereka menembus putaran Piala Dunia, serta menjuarainya. Sebagai olahraga paling populer di dunia tentunya setiap negara berlomba-lomba untuk mengejar hal tersebut. Bahkan negara-negara yang sebelumnya tidak menjadikan sepak bola sebagai olahraga terpopuler di negaranya pun berusaha mewujudkan atau setidaknya mendekati mimpi tersebut.
Semua cara/metode/pendekatan dilakukan agar tim nasional mereka dapat menembus putaran Piala Dunia. Kita semua juga setuju tidak ada proses yang instan, tidak ada jalan pintas, tidak ada keberhasilan tanpa usaha keras.
Jalan terbaik untuk menjadikan tim nasional yang kuat adalah adanya kompetisi. Kompetisi yang baik, sehat, dan profesional di negara tersebut. Kompetisi yang tersebut dapat dihasilkan dengan adanya pembinaan yang baik dan berjenjang untuk setiap umur sebagai input-nya. Apabila masalah pembinaan dan kompetisi sudah dalam arah yang baik maka dengan sendirinya lahir pemain-pemain yang baik pula. Dengan lahir pemain yang baik, tentunya output-nya adalah pembentukan tim nasional yang kuat.
Bagaimana dengan negara kita, Indonesia? Sejarah panjang kecintaan bangsa Indonesia kepada olahraga ini dapat ditelusuri, bahkan jauh sebelum republik tercinta ini berdiri. Dengan berdirinya PSSI, dibentuk tahun 1930 oleh sekumpulan anak bangsa yang penulis yakini berasal dari berbagai macam latar belakang, suku, dan sebagainya agar kecintaan mereka terhadap sepak bola bukan sekedar ajang kumpul-kumpul atau cuma sekedar menyalurkan hobi tapi mereka pasti meletakkan dasar-dasar yang teguh akan kebhinekaan, persatuan dan juga pasti prestasi baik nasional maupun internasional.
Tetapi mengapa dengan sejarah yang begitu panjang sampai sekarang pun mimpi Indonesia ke pentas dunia belum juga terwujud. Tentunya ada yang salah pada arah pembinaan kita, dalam hal ini tentunya kompetisi sebagai “ urat nadi”-nya.
Liga Indonesia dibentuk tahun 1994 dengan menggabungkan 2 buah kompetesi, yaitu perserikatan (Amatir) dan galatama (Perserikatan). Dengan mimpi membentuk kompetisi yang kompetitif dan professional. Tetapi kenyaataan berbicara lain setelah berjalannya waktu, hampir 20 tahun jangankan membangun tim nasional yang kuat ke piala dunia. Mencari format kompetisi yang ideal saja kita masih bingung. Tahun ini format 1 wilayah, 2 tahun kemudian kembali ke format 2 wilayah dan seterusnya . Belum lagi prahara di tubuh PSSI sendiri. Semakin jauh mimpi kita ke pentas dunia.
Dalam tulisan kali ini penulis ingin mencermati mengenai asal daerah klub-klub yang berlaga di kasta tertinggi liga Indonesia. Mengapa kasta tertinggi karena tentunya pemain nasinal seyogyanya diambil dari kasta tertinggi kompetisi suatu negara. Untuk mencari bibit pemain bagus tentunya dihasilkan dari kompetisi yang bagus, tetapi masalahnya adalah bagaimana bibit pemain yang bagus akan diasah apabila di daerahnya tidak ada kompetisi yang menunjang. Bagaimana apabila pemerintah daerah, atau PSSI abai terhadap pembinaan sepak bola di daerah tersebut.
Sepanjang penulis cermati beberapa daerah/propinsi belum dapat mewakilkan klubnya ke divisi tertinggi atau kalau ada bertahan 1-2 tahun setelahnya tenggelam lagi tanpa berita. Untuk daerah-daerah tersebut penulis mengistilahkan sebagai daerah blank spot.
Berbicara daerah blank spot secara pengertian umum adalah daerah di mana daerah tersebut tidak terjangkau oleh suatu kemajuan/suatu kebijakan/suatu hal yang secara umum atau daerah lain dapat diterima. Contoh kecil apabila kita memegang telepon seluler dan masuk daerah blank spot maka kita tidak dapat berkomunikasi dikarenakan tidak terjangkaunya sinyal dari menara pemancar terdekat. Kita tidak dapat berkomunikasi, walaupun sebenarnya telepon seluler kita adalah tercanggih atau baterai kita penuh.
Blank spot sepak bola di sini bukan berarti bahwa tidak pembinaan, bukan berarti tidak ada klub yang baik, bukan berarti tidak ada pemain/bibit pemain yang bagus di daerah. Tetapi bahwa daerah tersebut sampai sekarang belum pernah atau amat jarang sekali punya keterwakilan klub di kasta tertinggi sepak bola Indonesia adalah suatu hal yang harus kita perhatikan bersama mengapa hal itu dapat terjadi.
Mari kita cermati beberapa daerah di bawah ini:
Area Sumatra: (Propinsi Riau Kepulauan, Propinsi Jambi)
Area Kalimantan: (Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kalimatan Tengah)
Area Bali dan Sumbawa: (Propinsi Nusa Tenggara Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur)
Area Sulawesi: (Propinsi Sulawesi Tenggara, Propinsi Sulawasi Tengah)
Area Maluku: ( Propinsi Maluku)
Area Sumatra
Keikutsertaan klub-klub di daerah Sumatera masih didominasi oleh beberapa klub saja antara lain: Semen Padang dan Sriwijaya FC. Beberapa waktu yang lalu Persiraja Banda Aceh, PSMS Medan, PSPS Pekanbaru, PSBL Bandar lampung sempat meramaikan kompetisi tertinggi tetapi kembali meredup lagi. Berbagai masalah terutama finansial dan juga konfilk antarpengurus ditengarai menjadi alasan kemunduran prestasi. Untuk 2 daerah yang penulis sebutkan di atas yaitu jambi dan Riau Kepulauan harus ada perhatian ekstra dari pengda agar klubnya bisa menembus blank spot.
Area Kalimantan
Kalimatan Timur tentunya dapat berbangga dengan banyaknya klub yang ikut serta dalam kompetisi tertinggi, juga Kalimantan Selatan bisa berbicara di pentas nasional. Tetapi untuk Kalimantan Barat dan Kalimatan Tengah? Sekali lagi finansial berbicara, dengan limpahan hasil kekayaan tambang. Harusnya Kalimantan dapat menghidupi klub yang ada. Kerja sama dengan pihak swasta sangat diperlukan.
Area Bali & Sumbawa
Daerah ini sebenarnya adalah daerah dengan bibit-bibit yang sangat potensial, penulis juga sangat heran sampai sekarang tidak ada satu pun klub dari Sumbawa yang dapat menembus kompetisi tertinggi. Ke mana Pengda-Pengda yang ada? Apa yang mereka kerjakan? Mengenai pembiayaan seharusnya pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan swasta. Apalagi Sumbawa dengan PT Newmont-nya yg terkenal itu. Kita tunggu Yabes Yabes baru bermunculan dari daerah ini.
Area Sulawesi
Berbicara pesepak bola Sulawesi pasti teringat PSM Makassar, tetapi ke mana daerah lain? Yang bisa menandingi di kancah sepak bola nasional hanya Sulawesi Utara. Propinsi yang lain belum terdengar kiprahnya.
Area Maluku
Ini daerah penuh dengan talenta-talenta terbaik. Di berbagai klub di Indonesia banyak pemain dari daerah ini menjadi tulang punggung tim. Tapi mengapa klub dari Maluku sendiri tidak ada yang berbicara di tingkat nasional? Okelah kalau berbicara letak geografis, tentunya Papua lebih jauh. Maluku benar-benar adalah mutiara yang belum ditemukan, mutiara yang seharusnya lumbung sepak bola Indonesia di masa depan. Secara postur dan kekuatan fisik tidak jauh berbeda dengan saudara kita di Papua yang sudah terkenal akan kapasitasnya. Mengenai kemampuan/teknis bermain. Penulis yakin kalau diasah dengan baik lebih dari cukup untuk bersaing dengan saudaranya dari tempat lain.
Kesimpulan penulis setelah melihat beberapa blank spot tersebut adalah:
1.Pembinaan masih bertumpu pada daerah-daerah tertentu saja, belum merata. Kepala Pembinaan hanya bertumpu pada seorang pemimpin (dalam banyak hal adalah pemimpin daerah), kalau pemimpin daerahnya “gila” bola, mau berkorban tentunya sepak bola di daerah tersebut maju. Tetapi setelah beliau tidak menjabat lagi terjadi pergantian dengan kepala daerah yang tidak terlalu menenkan olahraga, maka sepak bola menjadi redup.
2.Minimnya fasilitas penunjang, dengan ketidaktersediaanya stadion/lapangan yang bagus/layak. Bagaimana klub/klub tersebut dapat berkembang? Peningkatan fasilitas olahraga harusnya dapat menjadi tanggung jawab pemerintah dengan melibatkan faktor swasta.
3.Sepak bola harus dijauhkan dari Politik, maka baru dapat maju.
4.Format kompetisi harus dapat memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh klub di Indonesia untuk berkompetisi secara sehat.
5.Bahwa ketersediaan bibit pemain bagus di Indonesia masih sangat-sangat banyak. Asal pemerintah atau PSSI melalui pengda-pengda yang ada di setiap daerah tanggap akan hal ini.
6.Dibutuhkan dana yang besar untuk menghidupi klub, tanpa dana sudah terbukti klub hanya bertahan seumur jagung. Maka Suporter diajak bersama memiliki klub. Dengan cara (membeli tiket resmi, membeli antribut klub remsi) dll.
Tulisan di atas bukan untuk menjelek -jelekkan daerah atau wilayah tertentu, tetapi adalah kerinduan penulis untuk melihat klub-klub bahkan pemain nasional dapat lahir dari daerah tersebut. Sepak bola adalah milik seluruh wilayah Indonesia, yang terbaik tentunya akan dipilih, tetapi dengan kesempatan yang sama dalam kompetisi yang sehat.
Terima Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H