“Ahok Kalah? Ngawur…. Kamu baca berita ngak sih? Ahok juara satu tau…. “ begitulah kira – kira pembicaraan ku bersama fans garis keras Ahok.
Dengan keunggulan hanya sekitar 3-4 persen (berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga survey), menurut penulis Ahok – Djarot sebenarnya sudah kalah bersaing dari pasangan nomor 3.
Seharusnya dengan statusnya sebagai petahana dan pada awal masa pemilihan angka keterpilihan lebih dari 60%, Ahok dengan mudah memenangkan pertandingan Pilkada ini. Banyak faktor memang yang membuat suara Ahok lama – lama tergerus, bahkan sempat ditik nadir, sebelum balik kembali. Baik itu karena faktor Ahok sendiri maupun karena faktor luar yang bertubi-tubi menyerangnya.
Kali ini penulis tidak membahas faktor – faktor luar yang menggerogoti suara Ahok. Tetapi lebih kepada kinerja Tim Suksesnya yang menurut penulis tidak maksimal. Setidaknya penulis mencatat ada enam hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus terkait kinerja Tim Suksesnya.
Pertama. Kinerja Ketua Tim Sukses yang jauh dari harapan. Ketua Tim Sukses Pemenangan Ahok dipegang oleh ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi dari PDIP. Secara logika politik tentunya tidak ada masalah dengan pemilihan ketua tersebut. Apalagi sosoknya adalah ketua DPRD yang tentunya mempunyai relasi dan jaringan baik secara politik maupun kebawah seharusnya sudah kuat.
Tetapi fakta dilapangan berbeda, tidak ada gaung sama sekali atau pernyataan – pernyataan yang fantastis dari seorang Prasetio dalam mendukung Ahok. Bahkan wajah sang ketua kalah tenar dari Bang Ruhut yang vokal suaranya beredar dimana – mana di stasiun televisi swasta. Perlu juga dicatat hubungan Ahok dan Prasetio secara pribadi mungkin tidak ada masalah. Tetapi secara institusi antara Gubernur dan DPRD tentunya kita mengetahui bersama terdapat perbedaaan cara pandang yang sangat tajam.
Terutama terkait penyususan APBD beberapa waktu lalu. Mau tidak mau Prasetio adalah bagian dari DPRD itu sendiri walaupun dia juga bagian tak terpisahkan dari PDIP. Kedepannnya saran penulis Prasetio harus memperbaiki kinerjanya sebagai ketua atau bila perlu ganti sekalian dengan mereka yang lebih vokal dan langsung bersentuhan dengan konstituante.
Kedua. Euforia berlebihan di media sosial. Harus kita akui bahwa pemilih Ahok memang adalah pemilih yang tingkat keterhubungannya dengan media sosial lebih tinggi dibandingkan dengan pendukung pasangan lain. (baca : melek teknologi) hal ini dapat dilihat menjadi pisau bermata dua.
Disatu pihak tulisan tulisan di media sosial dibanjiri oleh mereka yang mendukung Ahok, seolah olah Ahok unggul tapi disatu sisi apa yang tejadi di media sosial bukan yang terjadi dilapangan. “one man one vote” itu yang terjadi bukan dengan berkicau di twitter atau nulis di wall fb maka suara Ahok dibilik suara akan bertambah. Saran saya adalah jangan terlalu terlena oleh apa yang terlihat di media sosial. Karena belum tentu apa yang disajikan real seperti yang ada dilapangan. Kalau nantinya hasilnya tidak sesuai yang memang nyatanya begitu bukan menyalahkan orang lain.
Ketiga. Hanya terfokus kepada Ahok. Sebagai pasangan calon. Seyogyanya Pak Djarot memiliki porsi yang tidak sedikit. Sosok Djarot inilah yang kurang digali maksimal oleh Tim Sukses.
Padahal Djarot sebenarnya adalah antithesis dari Ahok sendiri. Kala Ahok diserang dengan Arogan, Cina dan Kristen maka Djarot adalah Santun, Jawa dan Islam… . Secara kinerja sebenarnya Djarot tidak jauh beda dengan Ahok saat memimpin Blitar sebanyak 2 periode. Rentetan penghargaan yang dia dapat juga bejibun dan bergengsi. Memang pada saat debat terlihat Ahok mulai berbagi panggung dengan Djarot tetapi penulis rasa masih kurang. Karena sebenarnya Djarot lebih banyak nilai yang bisa dijual. Maka untuk melawan santunya “Anies –Sandi” harus juga dilawan dengan “Santunya” Djarot.