Seperti yang sudah - sudah, berbagai komentar muncul terkait kegagalan Tim Piala Thomas dan Uber Indonesia merebut supremasi tertinggi kejuaraan dunia bulutangkis beregu tersebut. Banyak pihak termasuk di dalamnya, mantan atlet, mantan pelatih sampai pemerintah dalam hal ini kemenpora memberi tanggapan. Salah satu yang mencuat adalah perlunya pemanggilan para pelatih asal Indonesia yang dianggap bagus tetapi malah berkarier di luar negeri, seperti yang dikutip dari kompas.com (29/5/2018)
Muncullah nama -- nama seperti Mulyo Handoyo, Rexy Maniaky, dan Hendrawan adalah beberapa nama yang santer dibicarakan agar segera di tarik kembali ke Pelatnas Cipayung untuk memperkuat Tim Bulutangkis Indonesia.
Mulyo Handoyo dikenal sebagi pelatih yang mendampingi Taufik Hidayat hingga mencapai puncak karier meraih mendali Olimpiade, tangan dinginya juga diakui setelah membesut Tim India, dimana negara tersebut saat ini menjadi salah satu kekautan bulutangkis baru, khususnya di tunggal putra.
Rexy Maniaky adalah mantan pelatih kepala di PBSI sebelum digantikan oleh Susy Susanti. Saat ini Rexy menjadi pelatih kepala di Tim Thailand, prestasi tertinggi yang baru saja di peroleh adalah menjadikan Tim Putri Thailand menjadi Runner -- Up Piala Uber. Bagi Thailand sendiri ini adalah prestasi tersendiri mengingat Thailnd tidak punya tradisi dalam prestasi bulutangkis.
Sedangkan Hendrawan adalah pelatih Lee Chong Wei, pemain veteran, legenda hidup bulutangkis Malaysia, yang walaupun sudah termakan usia penampilannya tetap konsisten. Hendrawan sebelum pindah ke Malaysia juga sempat menukangi sektor tunggal putri pelatnas Cipayung.
Namun dari ketiga nama diatas yang walaupun prestasinya mentereng dalam mendampingi para atletnya, masih ada satu nama yang sebenarnya  secara prestasi diatas mereka semua. Seorang pelatih yang lahir di Indonesia, yang ingin berbakti di Indonesia, yang Ingin mengabdi untu Indonesia, namun pada akhirnya hanya karena stereotip dan ketidakadilan terkait asal usul nenek moyang, menjadikan dia harus meninggalkan tanah kelahirannya yang sangat di cintainya.
Adalah Tong Sin Fu, seorang pemain hebat, pelatih hebat, seorang guru dan panutan para legenda bulutangkis Indonesia. Tong lahir di Teluk Betung, Lampung, Â 13 Maret 1942
Kariernya memang tidak terdengar oleh dunia, dikarenakan waktu muda dia memutuskan ke Tiongkok bermain disana, karena di Indonesia dilanda prahara politik. DI Tiongkok Tong muda tidak ada lawannya. Hanya karena pada saat itu kebijakan Tiongkok yang agak tertutup dengan dunia luar, jadi kehebatan Tong hanya sampai batas nasional saja.
Karier Tong justru nampak saat dia sudah berhenti bermain, kembali ke Indonesia, dan di panggil masuk ke pelatnas. Tangan dinginnya melahirkan Susy Susanti dan Alan Budikusuma yang meraih emas olimpiade pertama. Dan kalau masih ingat, pada jaman itu kita mempunya deretan pemain tunggal yang sangat menakutkan dunia, bukan hanya 1 atau 2 orang tetapi lima orang sekaligus. Alan Budikusuma, Haryanto Arbi, Ardy BW, Hendrawan, samapai Susy Susanti.
Tong sebagaimana julukan saat bermain yakni "The Thing" adalah pelatih yang sangat cerdas, dapat dilihat dari dia memberikan porsi latihan dan arahan yang berbeda untuk setiap pemain, jadi sesuai kapasitas dan kemampuan pemain tersebut, tetapi hasilnya maksimal. Disiplin adalah harga mati untuk seorang Tong dalam melatih. Kalau waktu latihan jam 8.00 pagi, sang pelatih justru sudah hadir 7.30 pagi. Kalau ada pemainnya yang telat 1 atau 2 menit, maka pemainnya diminta untuk pulang saja.
Dengan dedikasi, prestasi, loyalitas dan tempat dia lahir serta dibesarkan, barangkali adalah sesuatu yang tidak masuk akal apabila seorang Tong harus mengemis ke pemerintah untuk sekedar diakui statusnya menjadi WNI. Memang pada saat itu mereka yang keturunan khususnya WNA keturunan Tiongkok, seperti dipersulit untuk urusan administrasi kependudukan. Setelah berjuang sekian lama dan sudah berkorban materi yang tidak sedikit. Tong akhirnya harus memilih jalan meninggalkan tanah kelahirannya yang dicintainya. Kembali ke tempat leluhurnya di Tiongkok adalah jalan yang harus dia pilh, bukan karena dia suka, tetapi sudah tidak punya pilihan lain.