Pencapaian Lusi Milla bersama Timnas Indonesia khususnya timnas U-22 berakhir dengan kurang manis. Dalam dua tugas besarnya Milla gagal memenuhi target yang diembannya. Yang pertama adalah gagal meloloskan Indonesia ke putaran final Piala Asia U-22 dan kedua hanya meraih perunggu dalam ajang SEA Games 2017.
Namun menjadi sangat tidak adil apabila kegagalan tersebut ditimpakan kepada sanga pelatih yang notabene baru beradaptasi dengan kultur sepak bola Asia Tenggara khususnya Indonesia. Melihat performa permainan saat kualifikasi Piala Asia dan Sea Games, jelas bahwa Milla dan anak didiknya telah membuat perkembangan yang sangat baik. Terutama di SEA Games Milla telah membuat timnas muda kita menjadi tim yang menurut penulis paling impresif penampilannya.
Ada dua indikator yang bisa dilihat bagaimana Milla bisa disebut "sukses" dalam menanamkan pondasi permainan Timnas muda ini. Yang pertama tentunya Milla bisa menjadikan Timnas Indonesia menjadi Tim yang paling sedikit kebobolan di penyisihan grup. Kekalahan dari Malaysia boleh dibilang hanya karena sedikit tidak beruntung saja. Yang kedua adalah Milla mulai bisa menanamkan skema dasar sepak bola modern saat ini dengan 4-3-3.
Total Football gaya Milla mulai bisa diserap oleh para pemain muda kita. Orientasi menyerang yang menjadi ciri khas sepak bola Spanyol dengan umpan pendek mulai dapat diaplikasikan para pemain Indonesia. Bek-bek yang tidak hanya bertahan tetapi juga bisa aktif menyerang, telah ditemukan dalam diri Gavin dan Rezaldi.
Namun daripada itu, penulis di sini ingin sedikit memberikan saran dan komentar mengenai terkait perkembang timnas ke depan, jelas bukan untuk menggurui atau merasa lebih hebat dari seorang Luis Milla, tetapi sekadar opini setelah melihat kiprah timnas muda di kedua ajang turnamen tersebut.
1. Kebutuhan akan adanya psikiater olahraga
Salah satu hal yang masih sering dikeluhkan para pecinta sepak bola Indonesia saat timnas bertanding terutama Timnas Muda baik U-19 maupun U-22 adalah masalah kontrol emosi para pemain yang kadang sering tidak terjaga. Kalau para pemain sudah bermain dengan mengedepankan emosi hal ini justru kontraproduktif dengan apa yang ingin dicapai. Kartu kuning, bahkan berujung kartu merah karena hal yang sangat sepele sering dilakukan para pemain Indonesia. Salah umpan dan salah control menjadi pemandangan lazim karena demam panggung.
Mungin kehadiran psikiater khususnya dalam bidang olahraga bisa memberikan nuansa berbeda di dalam tim. Selain untuk terus memotivasi dan menjaga mental para pemain. Diharapkan emosi para pemain dapat dijaga dengan adanya peran psikiater tersebut.
2. Lebih banyak melakukan diskusi dengan para pelatih klub
Milla memang baru sekitar setengah tahun berada di Indonesia. Dan dia langsung disibukkan untuk urusan Timnas U-22. Ke depannya di saat Timnas senior mulai ada kegiatan Milla harus segera berkomunikasi dengan para pelatih dan manajem klub. Pertama tentunya "kulonuwon" karena Milla akan meminjam para punggawa klub untuk membela timnas.Â
Keuntungan kedua apabila komunikasi lancar adalah Milla akan mendapatkan berita perkembangan yang "up to date" mengenai performa para pemain. Bisa jadi para pelatih klub ikut memberikan saran mengenai pemain mana yang layak untuk diberi kesempatan membela timnas baik junior maupun senior. Jangan sampai kejadian lalu di mana klub hanya boleh mengijinkan 2 pemain untuk dilepas ke timnas terulang lagi. Hal ini tentunya sangat merugikan pelatih timnas karena tidak bisa memilih pemain terbaiknya.
3. Mencari alteratif pemain yang berbeda karakter di posisi sama
Indonesia sebenarnya kaya pemain berkualitas, hanya kadang talenta-talenta tersebut belum ditemukan dan terasah dengan baik. Tugas Milla untuk dapat menemukan para pemain-pemain tersebut. Baiknya adalah untuk setiap posisi terdapat pemain yang sama baiknya dan kalau bisa berbeda karakter. Contoh kecil hal ini dapat menjadi solusi adalah di SEA Games, lalu di mana 2 penyerang Indonesia bertipikal dan berpostur sama.Â
Alangkah baiknya kalau Milla juga menyertakan striker yang mempunyai keandalan dalam hal sprint dan bepostur lebih kecil. Hal ini diperlukan untuk alternatif apabila mentok seperti kemarin. Di posisi lain, seperti posisi sayap, kalau memang tidak bisa mengandalkan kelincahan para pemain bertubuh mungil yang kadang kalah postur dalam perebutan bola. Maka pemain dengan postur lebih ideal tetapi mempunyai umpan silang yang baik, bisa dijadikan solusi. Seperti di SEA Games untuk sayap kanan, terlihat ketika Yabes berkali kali tidak bisa mecapai performa terbaiknya karena selalu kalah body, ada baiknya memajukan Gavin sebagai penyerang sayap.