Mohon tunggu...
Hendra Manurung
Hendra Manurung Mohon Tunggu... -

Saya dosen ilmu komunikasi dan public relations pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Presiden, Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi 17550. Saya ingin selalu dapat dan terus belajar dan berbagi pengalaman tentang ilmu komunikasi, kehumasan, jurnalistik cetak, jurnalistik elektronik, jurnalistik on-line, social media, dan media konvergensi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dialog Antar-umat Beragama

29 April 2010   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31 4507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa dialog antar umat beragama? Mengapa dialog antar umat beragama penting menjadi proses, dan bukan hasil? Mengapa Indonesia harus mewujudkan dialog antar umat beragama? Bukankah sembilan puluh persen dari sekitar 235 juta penduduk Indonesia beragama Islam (2009)? Bukankah Islam sebagai agama yang dianut mayoritas dan sifatnya melindungi masyarakat lain seyogianya mampu membawa Indonesia menjadi aktor dominan di dunia internasional? Bukankah kebebasan beragama dan kebebasan menganut kepercayaan telah diatur dan dijamin oleh pasal 31 UUD 1945?
Pertanyaan-pertanyaan ini semakin mengemuka seiring semakin dibutuhkannya komitmen dan perubahan paradigma dari seluruh lapisan masyarakat pada nilai-nilai dasar masing-masing agama sebagai sebuah wujud etika global. Apalagi, kehidupan masyarakat adalah sebuah persoalan yang cukup kompleks. Adanya nilai, hubungan sosial, kebiasaan, dan berbagai pandangan hidup, secara signifikan membedakan antara masing-masing peradaban (Samuel P. Huntington,”Benturan Antar Peradaban”, 2003). Revitalisasi agama yang terjadi di seluruh dunia semakin mengutamakan perbedaan kebudayaan itu sendiri, dimana fenomena sosial yang ada dalam masyarakat seringkali mengacu pada munculnya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan bahkan perselisihan dalam hal persepsi dan interprestasi. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial dalam masyarakat yang dinamis. Pada era millenium ini, pandangan dan sikap umat terhadap agama terus bergeser seiring perkembangan zaman. Namun, di balik semua itu, diperlukan dialog antar umat beragama sebagai media dan sarana efektif untuk mengurangi ketegangan akibat munculnya perbedaan masing-masing kebudayaan tersebut.
Keterlibatan politik dan agama
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dan dipikirkan diluar masyarakat semata. Individu-individu tidak akan dapat bertahan hidup dalam keterpencilannya sama sekali. Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan ketergantungan, yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerja sama, dan hal itu pada hakekatnya akan menetap, berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yanga beraneka ragam, baik dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena sejak kehadirannya manusia telah dikenal sebagai mahluk sosial dan mahkluk politik secara bersamaan (homo socius, zoon politicon).
Diakui hingga saat ini, persoalan penting yang paling merusak keberadaan agama-agama besar dalam paradigma ketiga agama Ibrahim, seperti: Yahudi, Kristen, dan Islam, adalah dominasi kepentingan politik yang selalu memengaruhi pola pikir umat beragama tersebut seiring dengan perkembangan zaman, era globalisasi, dan perubahan sosial dalam masyarakat. Munculnya negara dengan identitas agama tertentu yang mendominasi ranah publik, pada akhirnya menyalahi konsep agama yang seyogianya lebih mengutamakan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan.
Manusia memang selalu berubah, seiring pandangannya terhadap agama, yang disesuaikan dengan kondisi, nilai, sikap, dan kebudayaan yang dimiliki. Diperlukan perubahan paradigma dan pola pikir masyarakat yang mengutamakan dialog antar umat beragama dan berbagai upaya mewujudkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Namun, hingga kini perjalanan menemukan sebuah teori kehidupan sosial bagaimana ”dialog mengatasi perbedaan” belum terwujud, dikarenakan oleh tiga faktor utama, yaitu: Pertama, Penyalahgunaan dan penyimpangan penggunaan bahasa dalam agama itu sendiri; Kedua, Penerapan metode komunikasi yang seringkali salah dan cenderung antipati; Ketiga, Perilaku untuk saling mengasihi sesama.
Pada awalnya, agama lahir dan berkembang dalam kelompok kecil masyarakat, hingga berabad-abad kemudian, eksistensi agama mengalami perubahan-perubahan nilai dan keyakinan seiring munculnya kerajaan-kerajaan teokrasi, hingga agama pun mengalami proses modernisasi, perubahan sosial, dan pengaruh politik. Kondisi ini lahir dikarenakan pandangan-pandangan dan teori yang dilahirkan oleh para ilmuwan dan pemimpin agama dalam kaitan ilmu sosial yang cenderung memandang realitas sosial sesuai dengan interpretasi yang mereka berikan. Disadari sepenuhnya bahwa secara psikologis setiap ilmuwan mempunyai kemauan untuk melahirkan sebuah teori yang handal, mantap dan ajeg. Namun, hal ini justeru sering berbenturan dengan moral etik intelektual, karena pada dasarnya teori lahir sejalan dengan perkembangan; tidak ada satu teori pun yang ajeg.
Dengan demikian setiap individu mempunyai perasaan yang tidak berlawanan dalam hal keharusan untuk merubah atau memperbaiki sebuah teori (nilai-nilai dasar agama), baik teori yang klasik maupun yang kontemporer, melalui prosedur dan jalan evolusi. Dalam kaitan ini, maka keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kondisi geografis. Hal ini, dapat mengilhami para ilmuwan dan pemimpin agama untuk selalu mencoba, mengamati, mempelajari, dan menguji kemapanan sebuah teori ”agama sebagai alat legitimisasi segala sesuatu”. Dialog antar umat beragama dalam bagaimana mengatasi munculnya perbedaan nilai-nilai dasar agama dalam masyarakat seyogianya mengutamakan komunikasi interpersonal, komunikasi antar budaya (inter-cultural communication), dan kearifan masyarakat lokal (local wisdom), bukan komunikasi pengerahan massa menghadapi masyarakat lain yang berbeda, sehingga terhindarkan ketegangan konflik antar sesama. Bilamana perubahan paradigma dalam mewujudkan dialog antar umat beragama ini tidak dipahami, maka absolutisme nilai-nilai keyakinan yang dianut pada agama tersebut semakin mengemuka dan mudah disalahgunakan.
Andaikan masyarakat bersama-sama dengan pemerintah mampu memisahkan identitas agama sesungguhnya dengan kepentingan politik praktis dalam mewujudkan etika perdamaian (peaceful ethics), maka ketegangan antar umat beragama pun bisa diredakan dan alangkah indahnya kehidupan masyarakat Indonesia ber-Bhinneka Tunggal Ika dalam persaingan global masa depan.
*Hendra Manurung, Dosen Ilmu Komunikasi & Kehumasan (Public Relations) Universitas Presiden. Cikarang, Bekasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun