Mohon tunggu...
Haditya Endrakusuma
Haditya Endrakusuma Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Equilibrium

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sketsa Singkat Akar Problematika Kemunduran Peradaban Islam

27 Juli 2013   10:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:58 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahwa ummat ini dulu satu, baik dalam kesatuan aqidah dan amaliyyah. Namun karena pengaruh intrusi "worldview" peradaban lain dan pengaruh fitnah al kubro yang disebarkan oleh agen luar, yakni terjadi dimulai di era kekhalifahan Utsman maka kemudian ummat ini dihadapkan oleh berbagai pemahaman tentang aqidah akibat kejadian-kejadian tsbt. Munculnya Khawarij, kemudian disusul Syi'ah, dilain sisi muncul pula golongan yang kontra akibat munculnya Syi'ah yakni Nasibah. Kemudian disusul era masuknya intrusi Filsafat Paripatetik dengan munculnya para Filosuf Muslim, yang kemudian memunculkan faham Qodariyyah, Jabariyyah, Dariyah, Malahidah, dst. Filsafat (Keyakinan Paripatetik) pun kebanyakan dipopulerkan oleh kaum Syi'ah terutama dari golongan Rafidlah kemudian Ismailiyyah yang kemudian menelorkan faham antara lain faham Bathiniyyah.

Disisi lain, muncul keinginan kuat dari sebagian kalangan Muslim untuk menyikapi maraknya kajian Filsafat itu dengan kemudian membentuk suatu keilmuan baru guna mempertahankan aqidah islamiyyah dari faham Filsafat (Keyakinan Paripatetik) tersebut, yakni dengan menggunakan metode dialectic (Jadali) yang akarnya sebetulnya berasal dari kaum Paripatetik pula. Kalangan tersebut kemudian disebut sebagai Mutakallimin / Ahli Kalam. Diawali dengan kemunculan Jahmiyyah, Mu'tazillaah, kemudian disusul kalangan yang kontra dengannya dengan muncul Kulabbiyah kemudian Asy'ariyyah. Selain itu muncul pula faham al-Ladzfiyah dan Mathuridiyyah. Sementara di-kalangan Syi'ah sendiri menyikapi keilmuan kalam tersebut, mereka menelurkan faham musyabbihah dan mujassimah sebagai counter atas doktrin Jahmiyyah, Muktazillah dan Asy'ariyyah. Ditengah maraknya diskursus tersebut, muncul pula suatu faham yang awalnya berawal dari gerakan tafkiyatun nafs namun kemudian terintrusi praktek esotoris kaum bathiniyyah dan faham Filsafat serta Kalam, memunculkan golongan Shufi Falasifah / Tasawwuf Falasifah dan turunannya (seperti faham "Nur Muhammad", "Wihdatul Wujud", dst).

Dan semuanya "mengaku"  membawa rujukan-rujukan pada sumber primer agama ini. Namun, anehnya kesimpulan pemahamannnya kenapa berbeda-beda dan saling berkontradiksi? Bahkan "narasi" faktual historisnya sumber-sumber primer itu juga menjadi berbeda-beda. Padahal yang namanya "narasi" faktual historis sumber itu mau dibaca dengan gaya apapun, style bagaimanapun, model apapun, "Narasi" itu tidak akan pernah berubah.

Tentu ada yang salah dengan masalah "rujuk-merujuk" itu. Bisa jadi kesalahan itu karena "memanipulasi" baik narasi maupun pemahaman dari informasi sumber-sumber primer itu. Bisa jadi pula disebabkan tidak komprehensif dalam "merujuk" sumber primer itu. Bisa jadi pula sebelum "merujuk" ia sudah punya gagasan lain yang ia yakini (padahal gagasannya itu bertentangan dgn maksud konten sumber2 primer) lalu ia mencari-cari "rujukan" dari sumber2 primer itu kemudian "bahan" yang telah didapat itu ia ramu sedemikian rupa supaya "narasi" dan "konten" sumber2 primer itu menjustifikasi gagasan yang ia anut itu.

Nah, disinilah diperlukan keotentikan atas narasi dan konten sumber-sumber primer tersebut, selain otentik dibutuhkan pula keotoritatifan untuk memahami narasi dan konten sumber2 primer itu. Tentu, keotentisan dan keotoritatifan itu butuh "refrensi", "acuan" untuk menentukan informasi ini otentis tidak, valid tidaknya, pemahaman ini otoratif atau tidak, sesuai maksudnya atau tidak sesuai dan seterusnya. Refrensi itu tentunya adalah person manusianya sendiri.

Dalam agama ini, sudah jelas digariskan siapa-siapa manusia yg menjadi "refrensi" yang paling otentis dan otoratif dalam memahami sumber-sumber primer tersebut yakni Tiga Generasi Awal dari Ummat ini, yang kemudian disebut generasi Salaf, generasi Mutaqoddimin. Rangkaian proses inilah yang disebut sebagai tradisi Sunnah. Maka golongan yang komit terhadap hal itu disebut sebagai "Ahlu'l Sunnah" atau "Ahlu'l Hadits". Mereka berketetapan dan menyakini penting kesatuan ummat baik dalam keimanan, aqidah dan amaliyyah, oleh sebab itu mereka juga disebut "al-Jama'ah". Sehingga mereka disebut golongan Ahlu'l Sunnah wa'l Jama'ah. Mereka juga disebut sebagai golongan yang selamat “al-Firqoh an-Najiyah.”

Oleh sebab itu suatu "aksi" baik secara konseptual dan praktiknya, dalam lingkup syar'i ukurannya adalah ketetapan dan konsesus yang dibangun atas keselarasan antara keimanan dan rasionalitas, yang kesemuanya tolak ukurnya adalah; “ar-rasuul wa sabiilul mu’miniin” atau tradisi Sunnah. Hal ini sesuai dengan pesan Rasulullaah shalallaahu’alayhi wassalaam; “innahu man ya’isy ba’dii fasayara-khtilaafan katsiiran, fa’alaykum bi sunnati wa sunnatil-khulafaa’ir-rasyidiinal mahdiyyiina min ba’dii”. Rasulullaah shalallaahu’alayhi wassalaam pun, sangat mewanti-wanti kepada kita pengikut-nya; "Man yaqul 'alaiya maa lam aqul falyatabawwaa maq'adahu minnaar", Barangsiapa yang mengatakan sesuatu atas namaku, sementara aku tiada pernah mengatakannya maka ia telah memesan tempat duduknya dineraka (HR. Bukhori & Muslim).

Bukankah melestarikan pemahaman yang keliru atas beliau shalallaahu’alayhi wassalaam adalah suatu bentuk "kebohongan". Bagaimana mungkin manusia yang dikaruniai akal dan jiwa yang sehat dapat menerima sebuah "pemanipulasian" sebagai sebuah "kebenaran" apalagi dalam konstruk pemahaman khususnya dalam aqidah agamanya.

Sungguh luar biasa memang "pelik"nya masalah tersebut, apalagi hal itu semakin "rumit" bila dibumbui dengan penyikapan yang tidak wajar atas berbagai diskursus yang terjadi, misalnya penyikapan dengan pencitraan yang buruk berupa fitnah, pemalsua terhadap golongan yang komit atas tradisi sunnah (yang menjadi lawannya) itu untuk "mengalihkan" isu utama. Maupun penyikapan "taqlid" buta yang jauh dari etika dan tradisi keilmuan.

Problema-problema ini juga semakin diperparah dengan sikap "tidak peduli" dan sikap gampang "terkesima" dengan "worldview" selain Islam dikalangan baik umum maupun akademisi. Bahkan ada kecenderungan untuk menjustifikasi pandangan diluar Islam sendiri dalam memandang konstruk peradaban Islam. Sehingga kini banyak Muslim berbicara tentang Islam namun dengan framework kacamata diluar tradisi keilmuan Islam sendiri.

Sungguh luar biasa memang "pelik"nya masalah tersebut, apalagi hal itu semakin "rumit" bila dibumbui dengan penyikapan yang tidak wajar atas berbagai diskursus yang terjadi, misalnya penyikapan dengan pencitraan yang buruk berupa fitnah, pemalsua terhadap golongan yang komit atas tradisi sunnah (yang menjadi lawannya) itu untuk "mengalihkan" isu utama. Maupun penyikapan "taqlid" buta yang jauh dari etika dan tradisi keilmuan.

Problema-problema ini juga semakin diperparah dengan sikap "tidak peduli" dan sikap gampang "terkesima" dengan "worldview" selain Islam dikalangan baik umum maupun akademisi. Bahkan ada kecenderungan untuk menjustifikasi pandangan diluar Islam sendiri dalam memandang konstruk peradaban Islam. Sehingga kini banyak Muslim berbicara tentang Islam namun dengan framework kacamata diluar tradisi keilmuan Islam sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun