Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pencitraan Tidak Akan Mati: Refleksi Atas Pertarungan AM Vs AU

25 Mei 2010   06:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:59 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertarungan internal di Partai Demokrat dalam memperebutkan posisi ketua umum telah selesai dengan kemenangan Anas Urbaningrum (AU) yang telah mengalahkan calon paling populer Andi Mallaranggeng (AM) dengan telak di putaran pertama. Saking serunya, perhelatan ini memunculkan banyak ulasan termasuk tentang pencitraan. Bahkan kekalahan AM dianggap sebagai kematian pencitraan. Tulisan ini hanya membahas gaya dan strategi "berjualan" kedua kandidat. Apa yang bisa dijadikan pelajaran dari "pertarungan" tersebut? Dari sudut pandang pemasaran, pertarungan tak ubahnya upaya masing-masing pihak untuk berjualan agar bisa dibeli oleh konsumennya. Tidak ada kecap nomor dua tapi  kecap yang paling  cocok dengan selera mayoritas konsumenlah yang akan paling banyak dibeli. Ini sejalan dengan sistim voting yang dilakukan dimana pemilik suara terbanyak akan jadi pemenang, berbeda dengan cara aklamasi yang sempat diajukan. Mari kita lihat cara jualan masing-masing kandidat. AM mengandalkan citra sebagai penerus SBY melalui aktivitas dan pernyataan serta mendongkrak popularitas melalui iklan (above the line).  Sedangkan AU berjualan dengan menawarkan konsep partai baru dan modern buat Demokrat. Meski tidak didukung dengan iklan yang banyak, tampakya AU lebih menggunakan pendekatan personal (below the line)  untuk menggalang dukungan. Selain itu AU juga memiliki keuntungan lain karena disadari atau tidak, kesan atas AU yang dikenal santun, cerdas dan berhati-hati juga merupakan citra yang dibangun dalam waktu yang lama. Dari segi penyampaian pesan promosi, dengan pemilihan yang dilakukan oleh hanya 500-an orang tampaknya sistem penjualan langsung (direct selling) masih dimungkinkan. Dalam hal ini, pendekatan personal merupakan cara penjualan langsung yang ampuh. Berbeda dengan pemilu yang harus menjangkau jutaan orang dalam waktu singkat sehingga iklan sangat dibutuhkan. Pertarungan internal untuk merebut posisi ketua umum pasti memilih nahkoda yang pas untuk membawa partai menjelajahi samudra politik Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana dengan pemilihan RI-1, apakah figur masih merupakan 'jualan' utama ataukah konsep pembangunan atau ideologi partai yang dijajakan oleh partai peserta pemilu? Sejatinya rakyat pasti memilih konsep pembangunan atau ideologi bisa membawa kesejahteraan buat mereka. Figur hanyalah wujud dari konsep atau ideologi yang dipilih. Namun apa daya, keterbatasn informasi dan pengetahuan membuat mereka rentan terhadap pencitraan yang dilakukan kandidat. Akhirnya dalam ketidakberdayaan mereka hanya dapat berharap bahwa ada calon pemimpin yang bersaing benar-benar memiliki kepribadian sesuai dengan citra yang dibangun dan melakukan apa yang dijanjikan. Sebagaian rakyat yang jauh dari akses informasi hanya bisa memilih dengan mata batin, semoga saja mata batin masih jeli melihat meski dihimpit oleh kesulitan hidup. Kembali mengambil contoh dalam pemasaran produk konsumen, alangkah indahnya jika pemilihan pemimpin dapat dilakukan seperti kita membeli pasta gigi, kita membeli Pepsodent (maaf bukan promosi) karena produk tersebut memenuhi tujuan kebersihan gigi kita, dibuat oleh pabrik ternama dan terpercaya yang bisa diumpamakan sebagai partai, dan diiklankan secara bertanggung jawab (ada komite pengawas iklan di BPOM) sehingga konsumen (calon pemilih) dapat membuat keputusan yang well-informed. Pencitraan bukan hal terlarang dan tetap akan ada selama masih ada persaingan. Tetapi kejujuran dalam pencitraan merupakan hal yang perlu dijaga. Mungkinkah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun