Berlakunya Free Trade Agreement ASEAN-Cina pada bulan Januari 2010 membuat pemerintah dan kalangan swasta bak kebakaran jenggot. Tanpa formalisasi dalam bentuk 'agreement' saja produk-produk Cina sudah mendominasi pasar domestik apalagi setelah diresmikan maka kita akan kebanjiran produk Cina. Tanpa perlu menggunakan statistik coba lihat di rumah kita, berapa banyak jenis barang 'made in China' yang kita beli untuk keperluan sehari-hari. Bahkan menurut artikel yang pernah saya baca, hampir 70% barang yang dijual di Wal-Mart di Amerika adalah made in China. Kedigjayaan Cina dalam menjual produk-produknya secara masal sudah tidak diragukan lagi bahkan sudah menimbulkan dampak pada perekonomian beberapa negara akibat kehancuran industri lokal karena kalah bersaing dari segi harga dan beralihnya investasi ke Cina. Dari segi diversifikasi produk mereka berprinsip 'palugada', "apa yang lu minta gua ada" demikian istilahnya. Cina dapat membuat hampir semua yang kita butuhkan mulai dari yang remeh temeh seperti peniti sampai yang berteknologi mulai dari software, mesin dan pesawat. Keunggulan yang ditawarkan adalah harga yang murah tentu saja dengan kompromi pada mutu. Namun sekarang Cina pun sudah mulai memperhatikan kualitas dan membangun merek (brand building). Mengapa mereka bisa melakukan itu?? Bagaimana dengan industri kita? Ada ahli yang mengatakan bahwa industri kita tidak lebih dari 'tukang jahit' yang artinya hanya mengerjakan sebagian kecil dari proses produksi, tidak menguasai industri hulunya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kesimpulan yang dibuat umumnya mengatakan bahwa ekonomi kita adalah ekonomi biaya tinggi karena birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak memadai dan mentalitas kita yang menyukai hal-hal yang instan sehingga tidak bisa membangun industri dasar karena butuh waktu yang lama untuk mengembangkannya. Kita buat mobil tapi pakai mesin impor, kita buat pesawat juga pakai mesin impor. industri garmen menggunakan kain impor, bahkan beras pun kita impor. Meski kenyataannya kita belum siap namun tidak ada gunanya menyesali perjanjian yang sudah disepakati karena kita sering latah atau ditekan oleh kekuatan besar sehingga kita tidak mandiri dalam mengambil keputusan. Untuk menghadapi keadaan ini rasanya belajar dari Cina dan menjadi seperti Cina adalah hal yang masih mungkin kita lakukan. Kekuatan sumber daya alam dan manusia yang besar jika dikelola dengan baik tentu akan memberikan kekuatan yang dahsyat bagi perekonomian kita. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Kita tidak membutuhkan jargon-jargon, yang dibutuhkan adalah langkah konkrit untuk memulai dan tentu saja pemimpin yang handal. Cinta produk dalam negri adalah salah satu upaya yang dapat kita lakukan untuk membantu perkembangan industi kita. Kita harus maklum atas kekurangan yang dimiliki oleh produk dalam negri dan produsen dalam negri harus memanfaatkannya untuk terus memacu daya saing dan mengembangakan industri agar semakin kompetitif. Tentu saja peran pemerintah dalam menciptakan lingkungan usaha yang kondusif sangat dibutuhkan. Singkatnya, men-Cina-kan Indonesia membutuhkan strategi pembangunan industri yang jelas, ketegasan, komitmen dan tentu saja kerelaan berkorban dari seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkannya. Semoga negri ini bisa menyelesaikan PR yang demikian banyak agar rakyat dapat semakin sejahtera. [caption id="attachment_51216" align="alignnone" width="300" caption="http://dfmoney.wordpress.com/2009/08/27/"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H